Ibu Ros seorang pengamen di bus antarkota dalam provinsi. Saat ini beliau sedang mengalami patah tulang dan derita berkepanjangan dari kecelakaannya tersebut.
Sekitar tiga tahun lalu, Ibu Ros mengalami kecelakaan dan patah tulang di beberapa tempat. Hingga hari ini, lengannya masih harus menggunakan beberapa pen untuk menyambung ruas yang patah. Sekian lama, patah itu tidak bisa menyambung dan belum ada tanda-tanda sama sekali untuk menyatu secara alami.
Pen yang ditanam di dalam daging ditolak oleh tubuh, maka pen dengan bantuan silicoon membebat di pundak hingga lengannya. Perjuangan panjang untuknya menjadi pulih sebagaimana mestinya. Setiap bulan Ibu Ros harus ke RSO dengan naik bus sejauh sekitar 55 km, baru ketika keadaan mendesak baru bisa pelayanan dialihkan ke RSU setempat. Setip hari mengganti pembalut di puskesmas, sedikit lebih mudah karena rumahnya dekat dengan rumahnya.
Dia bercerita mengapa kejadian itu terjadi. Waktu itu, puterinya hendak ujian semester di sebuah SMK, masih menunggak sekitar Rp. 250.000,00, sekeluar dari sekolah untuk memohon dispensasi, dia berpikir antara menjahit untuk menyelesaikan tunggakan uang sekolah puterinya atau mengamen. Melihat bus yang sarat penumpang, dia nekat mengamen. Icik-icik, tutup botol yang dipipihkan, tidak ada, maka puisilah pilihannya. Dan doa seorang ibu menghasilkan Rp. 80.000,00 hanya dalam sepenggal jalan yang biasa dilalui. Melanjutkan mengamen dengan beberapa rekan yang bertemu di jalan, mereka melanjutkan aksinya. Berhenti pada sebuah halte, perut yang lapar dan membagi hasil bersama rekan-rekan ngamen, mereka berketetapan untuk makan dulu dan menunggu bis malam pada beberapa jam lagi. Hendak melangkah menuju warung makan terdekat, malah ada truk yang mengahantamnya.
Tahu-tahu sudah ada di rumah sakit, dan hingga tiga tahun belum ada tanda-tanda kesembuhan dengan luka yang masih sama, bahkan infeksi itu hingga paru-paru. Mengapa luka demikian lama? Ternyata lepas tiga bulan dari kecelakaan, dia kembali mengamen, dan dengan tangan yang sehat kembali bergelantungan di bis, di rumah tetap kembali beraktivitas sebagaimana biasa.
Beliau mengatakan apapun akan dilakukan bahkan dengan perjalanan sekian jauh, letih, dan berat menggendong silikon dan pen-nya itu sebagai rencana Tuhan. Dia tetap ceria dan penuh senyum, sama sekali tidak ada kesedihan atau beban berat yang terpancar dari wajahnya.
Pengorbanan seorang ibu yang demikian besar demi putera-puterinya tanpa memikirkan risiko, bahkan akhirnya hingga tiga tahun belum ada perubahan. Mendahulukan kepentingan anak-anak dari pada kesehatannya sendiri.
Nyerinya pen yang mengggigit tulang bukan halangan bagi kemajuan anak-anaknya. Demi anaknyalah nyeri itu tidak menjadi penghalang untuk mengusahakan rupiah dan rupiah, asal anaknya bisa seklolah dengan lancar.
Meskipun sekarang masih merasakan beratnya silikon dan pen itu, namun anak-anaknya telah mengambil alih dan berganti untuk kesembuhan ibunya. Tidak lagi boleh mengamen, kegiatan yang dia lakukan adalah menjahit, baju yang memang perlu model khusus, karena lengan kiri yang “besar” ilmu menjahitnya sangat membantu.
Sebagaimana Ibu Ros berbagi kisah, di sebuah pagi, di atas bis antarkota yang mengantarnya kontrol rutin. Semoga lekas ada titik terang akan kesembuhan dan berkat melimpah dan kuat menjalani apa yang menjadi rencana Ilahi.
Salam Damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H