Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangsa Karet

15 Januari 2016   17:37 Diperbarui: 15 Januari 2016   18:20 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Karet sangat akrab dan fimilier bagi bangsa ini. Menghasilkan ribuan ton bahan baku dalam banyak produk dunia, karet merupakan komoditi yang menjanjikan. Berhektar-hektar ditanami tanaman yang berguna sehingga perjalanan lebih nyaman dan mulus, untuk ban dan alas sepatu atau sandal. Benda alami yang bisa melar dan kembali dalam keadaan semula dengan cepat. Liat  namun empuk sekaligus. Demikian pula jiwa bangsa ini.

Betapa hebat bangsa ini, ada bom, malah jualan sate, jualan kacang, nonton tanpa temeng dan pelindung, wakapolri saja mengenakan rompi anti peluru kog. Kembali pulih dengan cepat seolah tidak ada apa-apa. hanya dalam hitungan empat jam semua telah kembali seperti sedia kala. Lewat malam, semua sudah kembali sebagaimana rutinitas harian.

Kisah tersebut hanya satu dari sekian keliatan bangsa ini dalam berjuang dalam kehidupannya. Kita tarik jauh ke belakang, bagaimana kehidupan perjuangan melawan penjajah baik Belanda, Jepang, atau bangsa lain. Hanya mengandalkan tekad dan keliatannya untuk menang. Tidak banyak bangsa di dunia ini yang memperoleh kemerdekaan dengan mengusir penjajah dengan senjata, lebih banyak mengandalkan diplomasi dan “pemberian.” Jiwa karet, yang liat dan cepat pulih menjadi gambaran yang membanggakan.

Krisis ekonomi luar biasa ’98, banyak yang masih ingat. Berdarah-dara, namun tumbuh menjadi bangsa besar paling tidak hingga hari ini masih menjadi bangsa demokrasi di Asia yang sangat menjanjikan. Pergantian kepemimpinan setelah 32 tahun budaya represi itu tidak membawa eforia kebablasan sebagaimana di Uni Soviet, Cekoslovakia, Yugoslavia, dan banyak negara lain yang tidak liat dan kembali lagi.

Betapa banyaknya orang yang hidup dengan menjadi pedagang K-5, asongan, pemulung, namun memiliki tekad baja dan besar untuk tetap bertahan dalam kerasnya hidup ini. Tidak banyak yang menyerah dan takut dengan kerasnya hidup ini.

BBM naik kemudian tergencet kenaikan harga-harga, tidak lama kemudian semua tenang dan mampu bertahan dengan cara yang sering tidak bisa dipahami dengan logika matematis. Ini logika karet.

Ciri dan fakta yang lebih kecil, pilpres, pra dan paska, yang meskipun berlama-lama namun kembali membaur dan berjalan sebagaiman awalnya. Hater dan lover bisa tertawa bersama melihat komedi, marah yang satu ketika ada bom, dan jengkel bersama ketika ada papa minta saham. Makan siang ke istana yang membuat gaduh dan langit terbelah itu pun tidak lama kemudian menjadi satu kembali tidak lagi ada persoalan yang sepertinya tidak akan mampu disatukan itu.

Satu yang sama, menyatu, semua mengutuk adanya bom yang kemarin mengoyak Jakarta. Tidak lama semua telah menyatakan BERANI dan tidak takut akan hadirnya teror itu. Satu kata mereka tidak boleh mengalahkan keadaan yang aman ini. Keliatan dan kembali pulih ditunjukkan dengan cepat dan teror gagal. Mereka ternyata belum paham hal ini.

Sayangnya jiwa karet yang mudah berubah itu juga berarti buruk, seperti gak jelas bisa ditarik-ulur, seenaknya sendiri seperti dalam menggunakan pasal, dan kedisiplinan waktu. Tantangan dan perjuangan revolusi mental yang penting untuk mengubah kebiasaan ini. Meminimalkan yang masih memprihatinkan ini.

Pasal karet. Berkaitan dengan pasal dan hukum yang tajam ke bawah namun sangat tumpul ke atas. Tidak heran banyak candaan soal pasal karet. Pasal yang sama bisa menjerat rakyat namun akan lepas jika berhadapan dengan penguasa atau orang berpunya. Kelemahan jiwa karet yang pertama.

Susah untuk diajak disiplin. Soal waktu saja susahnya minta ampun, apalagi yang lain-lainnya. Tidak kaget kalau ada istilah jam karet untuk menunjukkan jadwal yang molor dalam berbagai acara dan kegiatan. Kelemahan kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun