Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandot Tua Belakang Rumah dan Tahanan Terorisme

10 Juli 2016   07:27 Diperbarui: 10 Juli 2016   08:36 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kakak memelihara kambing PE. Salah satunya adalah pejantan atau orang Jawa menamainya bandot.Kandang pejantan ini terpisah dengan betina dan anak-anaknya. Paling ribet itu kalau pas masa kawin, siang malam jangan harap bisa tenang jika tidak ada betina yang siap dibuahi, berisik, lari-lari di kandang, menabrak-nabrak dinding, dan polah naluriah si bandotdemi hasratnya terlampiaskan. Itu namanya bandot yang tidak memiliki akal budi. Hidupnya hanya berdasar instingtif, naluriah, dan spontan.

Di sebuah lapas di daerah yang cukup jauh dari pusat kota besar tersiar ada potensi kerusuhan karena ancaman seorang tahanan yang ngambeg karena ditolaknya usulan penyediaan bilik asmara bagi istri-istri yang mengunjungi para tahanan. Menjadi menarik adalah:

Negara tidak boleh kalah oleh tekanan terpidana. Negara satu-satunya  yang diberi mandat untuk “melanggar HAM”, demi tertibnya hidup bersama. Sepakat bahwa tahanan juga memiliki HAM, namun mereka untuk sementara kebebasannya sedang direnggut karena sebagai akibat mereka juga telah sewenang-wenang merenggut kebebasan orang lain, salah satu kebebasannya adalah berhubungan badan dengan istrinya. Jika mau bebas berikanlah kebebasan kepada orang lain terlebih dahulu, jangan malah merenggut kebebasan orang lain, menakut-nakuti sesama, ketika ketangkap menakut-nakuti lembaga negara.

Tahanan itu bukan  direnggut kebebasannya, namun mereka merampas kekebasan orang lain sebagai konsekuensinya mereka dipaksa menyerahkan kebebasannya.Pola pikir ini dipahami dulu sehingga sering korban malah di-bully,dan pelaku mendapatkan pembelaan dari mana-mana karena adanya kesempatan untuk mendapatkan bisa ketenaran, bisa pula uang, atau jaminan lainnya. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pembelajaran konsep ini terlebih dahulu.

Lebaran saja belum lagi usai, sudah berulah. Bagaimana kemarin melakukan ibadah,sedangkan belum genap sepekan sudah membuat ulah. Jelas perilakunya belum berubah, masih menuntut hak, hak, dan hak, namun abai akan kewajiban. Menuntut bilik khusus syahwat, namun lupa akan kewajiban membangun negara. Bagaimana sistem pembinaan di lapas jika demikian.

Ironis, manusia, lebih dari dewasa usia, pengalaman, dan tentu agama (bukan iman), bukan juga soal SARA, namun masih berkanjang dalam taraf naluriah, instingtif, kemauan ditolak, ngamuk, mengancam, dan ngambeg ini kan tataran anak-anak, kalau tidak mau terlalu kasar, hewan? Bagaimana mengendalikan diri saja belum bisa mengatakan negara ini harus seperti pola pikir mereka? Naluri itu hanya salah satu elemen hidup manusiawi, ada akal budi, ada hati, ada pula kebersamaan.

Apakah dia lupa, yang telah diminta dengan rela untuk mati dan tewas mengenaskan mereka telah tidak bisa melihat, apalagi memeluk, apalagi (maaf) bersebadan dengan istrinya, eh dianya enak-enakan minta fasilitas negara yang tidak mau ia akui keberadaannya. Orang tua yang sangat egois seperti ini apa pantas jadi pemimpin?

Menanti sikap kementerian hukum, BNPT, dan penegak hukum bagaimana sikap mereka.Sikap ini tidak boleh didiamkan saja, mengancam, meneror, dan menakut-nakuti aparat dengan cara akan membakar, mengeroyok, dan sebagainya. Perlu dilihat lagi, bagaimana mereka bisa berkomunikasi dan berkoordinasi dengan rekan-rekannya. Jangan dipandang sebelah mata, model kekerasan dan pemaksaan kehendak di lapas. Kasus-kasus demikian yang tidak diberikan tambahan hukuman dan  penegakan hukum yang tegas membuat kisah ini akan terus berulang.

Jawaban klise soal aparat yang terbatas, bukan alasan dan pembenar. Jauh lebih parah di masa lalu, namun mengapa bisa? Satu jawabannya, karena orang baik aparat ataupun narapidana mau tunduk pada hukum, bukan semau-maunya sendiri. Aparat mudah disuap, dan narapidana yang tidak mau taat membuat keadaan kacau balau.

Pertanyaan lebih lanjut, jangan-jangan mereka enak-enakan makan uang negara yang tidak mereka akui untuk merekrut jaringan, dan menuntut ini itu,menyebarkan pemahaman radikal mereka secara gratis bahkan seolah difasilitasi negara. Pembenahan sistem lapas Indonesia sudah mendesak. Membuat mereka belajar, bekerja secara fisik untuk menjadikan mereka manusia seutuhnya bukan hanya makan dan tidur yang membuat mereka malah bisa mengembangkan perilaku menyimpang mereka menjadi copet yang lebih lihai, penjahat yang meningkat kalibernya, dan juga teroris-teroris jempolan.

Penegakakan hukum dan peraturan terutama Pancasila perlu kembali digalakkan. Bagaimana bisa menolak Pancasila namun menuntut negara Pancasila mau memberikan fasilitas-fasilitas bagi mereka. Lucu dan aneh pola pikir mereka ini, bagaimana selalu saja standar ganda diterapkan. Disatu sisi antibarat, namun menggunakan internet, hp,medsos dengan bangga. Mengutuk apa yang mereka pakai. Sama persis dengan meminta ini itu dari negara Indonesia yang tidak mau ia akui, padahal hidup, makan, beraktivitas di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun