Pilkada DKI ini aneh dan lucu, raai justru sebelum pencalonan dan pilkada tahap satu. Umumnya, tahap dua ini jauh lebih heboh dan ramai, namun malah sepi. Logikanya, head to headmakin riuh dan ramai, namun ini malah lebih senyap dan tenang.
Lihat saja bagaimana sebelum pencalonan banyak sumpah yang hingga hari ini sama sekali tidak ada yang menagih, apalagi melakukan, ada yang siap potong kuping, siap terjun dari Monas, meskipun tidak langsung soal pilkada, namun menyangkut kemeriahannya. Parpol bak kebakaran jenggot karena maraknya ide jalur independen. Tarik ulur tokoh yang menarik dan menjanjikan sangat panas menghiasi media massa dan juga media sosial. Berdiri aneka relawan dengan berbagai nama, ada yang sepi bahkan teriak-teriak pun tidak ada yang datang, ada pula yang sangat menjanjikan, dan menjadi pusat pembicaraan. Parpol dan jalur mandiri sama ramainya. Saling sindir dan cemooh menjadi bahan harian.
Putaran satu yang diikuti tiga paslon sangat meriah kalau tidak berlebihan disebut cenderung kasar dan menggunakan segala cara. Cara yang dipakai dari yang wajar, normal, hingga di luar batas terjadi. Dua lawan satu seolah tersaji, baik resmi di depan debat resmi KPU pun terjadi, apalagi yang di luaran. Ada aksi dengan membawa agama juga hingga berjilid-jilid. Usai pemilihan dan hasil belum diumumkan keadaan sudah mulai mereda dan meredup.
Putaran dua, yang ada dua paslon malah sunyi senyap seolah pilkada sudah usai, padahal sama sekali belum. Hanya riak-riak kecil saja yang ada. Saling sindir dan fitnah nyaris tidak ada dan terdengar, hanya ada sesekali letupan gairah yang menyatakan pilkada belum usai. Padahal di sinilah head to head,identik dengan pilpres lalu, malah salah satu andalan menyeberang pagar. Mengapa bisa sesunyi ini?
Pertama, energi sudah habis di putaran pertama. Ingat bukan perkara mudah dan murah untuk menyerang itu. Selain energi juga modal baik kapital juga ide seolah habis, tidak ada lagi perselisihan yang bisa dikembangkan lebih jauh, karena ujung-ujungnya akan kembali ketahuan kalau itu hanya akal-akalan saja.
Kedua, pihak yang suka keriuhan dan keramaian telah tereliminasi. Suka atau tidak, sumber gaduh adalah Pak Beye, dan kebetulan jagoan beliau malah tersingkir lebih awal. Mengapa jadi sependiam ini Pak Beye tentu saja bisa menjadi kajian lain di artikel yang berbeda tentunya. Malah sudah tayang lebih dulu. He...he...http://www.kompasiana.com/paulodenoven/pendiamnya-pak-beye_58cea36b44afbdc208aa7de6
Ketiga, pihak yang mendukung keriuhan kehabisan energi karena malah terbelit kasusnya sendiri. Hal ini pun suka atau tidak menjadi catatan khusus. Bagaimana federasi penthung yang merajalela di pra pilkada hingga pertengahan putaran pertama berubah menjadi sunyi senyap kala mengalamai pemeriksaan demi pemeriksaan. Jawara tanpa tanding yang seperti tidak ada lawan itu berubah menjadi pendiam seribu bahasa. Apakah ini politis atau trik, nampaknya tidak, namun memang sudah kehabisan energi dan kesempatan.
Keempat, pemilih Jakarta lebih rasional dan logis, apa yang ramai jauh hari itu memang diciptakan, karena buktinya sama sekali berbeda ketika pemilihan terjadi. Lebih ramai oleh pihak lain dan bukan pemilih.
Kelima, isu dan tiupan gosip ternyata tidak mendapatkan sambaran seperti yang sudah-sudah. Sebenarnya banyak hal yang coba ditiupkan, namun tetap saja tidak menjadi gelindingan bola salju, malah diam dan tidak bergerak. Jika demikian, tentu enggan “pemodal” yang mau membuat kacau dan ramainya keadaan.
Keenam, para petarung telah tahu dengan baik peta, kondisi baik diri sendiri ataupun lawan. Jadi apapun usahanya sudah tidak perlu lagi, karena hanya tinggal menunggu waktunya saja. Tidak ada lagi yang perlu dilakukan dengan keras seperti eposide yang sudah-sudah.
Ketujuh, para paslon lebih banyak main aman dan main di bawah layar sehingga tidak lagi menarik bagi media ataupun netizen. Tentu mereka tetap melakukan perebutan dukungan dari paslon nomer satu baik suara ataupun parpol.