Test Urin Seharga Rp. 90.000,00 Per Orang Menghabiskan Aggaran? Ada apa? Bener soal boros atau ada orang besar yang pemakai?
Ketua dewan memang masih baru dan pecah fokus dengan ide untuk jadi ketum Golkar, masih ditimpa dan ditimpuk dengan banyak kasus memalukan, tidak heran salah komen. Indikasi ada oknum anggota dewan yang kena kasus narkoba, wacana test urin digulirkan, aneh bin ajaib tumben salah satu wakil ketua yang biasanya sesat kali ini lempeng dan mendukung.
Sang ketua mengatakan kalau test urin bagi anggoa dewan hanya pemborosan dan membuang anggaran negara. Apakah benar demikian? Janganlah cepat-cepat mengeluarkan dengan cepat dan bereaksi yang cenderung gegabah. Ketua BNN menyatakan beaya test urin pada kisaran Rp. 90.000,00, jika dikalikan 560 anggota dan staff dan keseluruhan yang terlibat di Kura-Kura Hijau tentu tidak sampai satu milyard. Apakah uang senilai itu layak?
Layak dibandingkan:
1. Anggota dewan yang tidur dalam sidang, apapun alasannya, jangan-jangan teler karena sakau atau sedang mabuk. Tentu jauh lebih mahal. Belum lagi ketika masih teler malah menyetujui undang-undang yang tidak jelas.
2. Anggota dewan yang tidak pernah ngantor apalagi kerja di dewan namun daftar hadir penuh dan tentu saja gaji, honor, uang ini itu lancar masuk rekening masing-masing. Karena tidak kerja namun uang masuk, tentu tidak sayang untuk beli narkoba.
3. Kecurigaan patut diterapkan ke dewan, uang tidak sah, akan berkaitan dengan perselingkuhan, pelacuran, narkoba, dan hiburan malam lainnya. Selama ini yang sudah terang benderang soal perputaran uang korupsi. Perselinkuhan beberapa kali terletupkan, soal narkoba masih rapi dan belum pernah, namun kemungkinan sangat besar ada di sana.
4. Nama baik dewan, produk yang dihasilkan, dan kedudukan dewan yang strategis. Pemberantasan korupsi sangat sulit karena perangkat hukum dibuat oleh salah satunya dewan yang ternyata banyak diindikasikan dan terbukti tidak kalah buruknya di dalam kasus korupsi. Tidak heran perundang-undangannya mendukung untuk tidak diberantas. Keburukan lain berkaitan dengan narkoba, jangan-jangan produk perundangan pun terkontaminasi dari perilaku penyalahgunaan juga di sana.
5. Darurat narkoba, namun sama sekali belum ada teriakan di dewan semisal kasus-kasus lain. Mengapa tidak pernah ada pemanggilan menkumham soal kalapas dan sipir yang berulang kali main mata dengan bandar narkoba. Terpidana mati yang mengulang-ulang tindakannya di lapas dan dewan diam seribu bahasa. Apakah berlebihan kalau ada tanya dan kecurigaan? Bagaimana reaksi mereka selama ini kalau ada “kesalahan” pemerintah yang tidak prinsip saja sudah bak kebakaran jenggot, komentar, panggil, dan tidak jarang mengancam untuk menggulingkan?
6. Jangan-jangan selama ini komentar tidak nyambung, ngawur, tidak menjawab pertanyaan, asal saja itu ada di dalam pengaruh narkoba, mereka meracau bukan berpikir jernih. Jika demikian betapa malunya negara ini?
7. Pecandu narkoba biasanya sudah tidak punya lagi malu. Lha mereka ini biasanya juga tidak punya malu. Pelaku kriminal, maling untuk memenuhi kebutuhan dalam membeli, lha semua ada di sana.