Fenomena Ahok belum berakhir, ini edisi guyon saja, tidak usah serius bagi yang tidak suka Ahok ya disabar-sabarkan, bagi yang suka dan berharap untuk tetap jadi gubernur juga tidak perlu emosi serta makan hati, yang jelas Jakarta lebih baik dan siapapun atau apapun caranya bukan yang utama. Jakarta lebih baik sebagai tujuan, sebagai gerbang negara namun selama ini memalukan. Lebih memalukan yang dipertontonkan dari Jakarta hanya berebut kebenaran justru oleh elitnya sendiri.
Terbaru ini soal Ahok lagi, secara tidak langsung tapi. Soal reklamasi. Jaksa tipikor membeberkan peran M Taufik di dalam kasus M Sanusi. Berpanjang lebar di sana dikatakan bagaimana M Taufik yang membuat raperda itu sesuai dengan keinginan pengembang. Padahal selama ini yang ditangkap M Sanusi, dan yang diharapkan menyusul adalah Ahok. Kisahnya berubah di tangan jaksa dan malah berbalik arah ke M Taufik.
Rompi yang sudah disiapkan koleganya di bagasai mobilnya eh malah naga-naganya malah dipakai rekan sendiri separtai. Jaksa sudah dibeli. Mau apa lagi, ya sudah kakak beradik saja yang masuk bui barengan.
Dari kisah sebelah juga ada berita panas lagi. Kali ini soal tanah yang itu lagi. Kapan berakhir coba. Kali ini Pak Ruki mengeluarkan jurusnya yang sama dengan BPK. KPK malah memble karena bertolak belakang dengan BPK. Jelas ini KPK kali ini yang menurut salah satu komentar di Kompas.com katanya empat pimpinannya kafir, entah apa kaitannya. KPK edisi ini dibeli Ahok, sehingga KPK pro Ahok dan berlawanan dengan BPK. Padahal kalau mau jernih dan jelas soal mana KPK atau BPK yang jelas memegang aturan bisa dilihat. Belum lagi rekam jejaknya di masa lalu lebih bisa dipercaya mana. Hal ini sudah dikupas beranke pandang sudut dan hampir menyeluruh, semua jadi ahli tiba-tiba.
Menarik adalah Pak Ruki yang digadang-gadang oleh salah satu parpol untuk menjadi kandidat cagub. Belum lagi menjadi pengurus parpol. Apa artinya? Selama ini parpol itu jauh dari kepercayaan masyarakat. Eh Pak Ruki yang menjabat dua kali jadi ketua KPK (meskipun miskin prestasi mentereng) namun bisa metenteng, malah masuk parpol. Dan keraguan itu jauh lebih besar. Pernyataannya yang mengatakan ada kerugian sebagaimana BPK (ingat ini juga orang parpol), dan malah meragukan integritas yuniornya di KPK.
Bola salju liar ini disambar Pak Zon yang lagi-lagi tidak bijak, malah menyatakan ,“Saya menduga KPK diintervensi...” Meskipun tidak menjelaskan dengan gamblang siapa lagi kalau bukan Ahok dan kekuasaan sebagaimana pernyataan sebelum-sebelumnya. Ini tuduhan serius.
Pertama, KPK sudah tersandera oleh BPK yang baik oleh pejabatnya sudah terekam memiliki indikasi kepentingan pribadi, juga secara kelembagaan telah mengeluarkan berkali-kali rekomendasi yang tidak benar. Catatan wajar namun maling juga banyak. Ini perlu tindakan hukum bukan semata-matta politik abal-abal dan akal-akalan.
Kedua,BPK melalui ketuannya bersikukuh auditornya benar dan ada kerugian negara, namun tidak ada tindakan hukum untuk pemrov Jakarta. Nada ngeles hanya menutupi kemaluan sendiri, dengan mengorbankan pihak lain, pemrov DKI (Ahok) dan KPK. Model makan teman seperti ini bukan lembaga kredibel.
Ketiga, ada lembaga ketiga, bisa kejaksaan dan atau kepolisian sekaligus sehingga KPK dan BPK dipulihkan. Ini negara sudah kritis akut bukan menjadi ajang cari selamat politikus busuk. Istana (Jokowi) pun sudah tersandera dengan dugaan yang bisa diyakini kebenaran oleh pengikut barisan sakit hati.
Keempat, pejabat negara namun mulutnya tidak ada bedanya dengan cah angon,bicara seenak udelnya, menuduh-nuduh, menyatakan ini itu dengan dasar yang sangat lemah. Implikasinya panjang lho ada BPN segala, bukan main-main. Belum lagi menyatakan KPK diintervensi.
Kelima,lha memangnya Ahok itu lebih kuat dari Pak Beye apa, bisa membeli KPK dan akan datang suara beli jaksa tipikor segala nanti. Berarti Ahok sekuat Soeharto yang bisa menguasa RI-1 dan jajarannya. Apakah nanti Zon dan Fahri juga dibelinya?