Menarik menyimak beberapa kejadian hangat akhir-akhir ini. Ada tiga contoh besar perilaku yang mendapatkan banyak tanggapan, bahkan menjadi sumber tulisan di media sosial. Beragam komentar, tulisan, dan opini yang disampaikan. Dukungan, hujatan, atau celaan silih berganti.
Ahok.
Ini bukan artikel yang memuja Ahok atau menohok Ahok sebagai apa atau apa, namun mencoba melihat tanggapan atas perilakunya, baik sebagai pribadi atau sebagai gubernur dan calon gubernur. Menarik ialah kisaran yang dipakai soal kebiasaannya yang berkata-kata dengan kasar dan arogan. Soal lainnya mengenai Sumber Waras dan UPS. Dengan jernih perlu dilihat bagaimana dia mengeluarkan pernyataan keras dan tidak jarang kasar, mengenai soal pengemplangan, korupsi, dan tidak taat asas dan aturan. Lepas dari pro dan kontra tentu lebih banyak yang sepakat bahwa benar ia melakukan itu hanya soal keadaan yang tidak baik. Soal UPS dan SW, bukan soal ia terlibat atau tidak, namun soal keberanian dia menghadapi penegak hukum, ia datang ke bareskrim, KPK, BPK, dan upaya dia untuk menjernihkan keadaan dengan apa adanya.
Layak diacungi jempol bahwa ia tidak malu dengan cerita sekitar bapaknya. Apanya yang salah soal bapaknya mengemis, sedang ia artis, tentu tidak ada yang dirugikan bukan? Mengapa harus ada yang menghujat? Siapa yang tahu mengapa itu semua terjadi, itu hanya mereka yang tahu tentunya. Yang jelas tidak ada yang dirugikan dan direpotkan dengan kisah itu. Bagus malah anaknya mengakui itu tanpa merasa ada yang perlu ditutup-tutuoi apalagi ditolak. Mengambil makna positif dari peristiwa tersebut, pantas diapresiasi tentunya.
La Nyalla Mattalitti
Ini bukan soal PSSI atau kisruh yang mengikutinya, banyak yang lebih pakar mengenai hal ini, daripada salah, lebih baik saya melihat dengan sudut yang berbeda. Bagaimana sikapnya yang mengulur-ulur kasus yang membelitnya. Itu adalah pilihan bebas LNM (mirip trio Barca saja), yang ternyata lebih memilih opsi praperadilan, penangguhan pemeriksaan, hingga konon melarikan diri ke luar negeri. Sah secara hukum dan memang UU melindungi hak untuk itu semua. Asas pra duga tak bersalah memang hal semua tersangka, dan sama sekali tidak salah. Namun tentu juga ada pilihan untuk mengikuti prosedur dari sisi penegak hukum. Itu jelas lebih memberikan dukungan moral bahwa bisa dilakukan dengan lebih cepat dan baik. Sebagaimana model Ahok yang tetap datang dan proaktif bahkan berani hingga ke meja hijau. Model ini memang banyak dilakukan oleh petinggi negeri ini, soal pra peradilan, yang hanya segelintir yang sukses, Budi G, Hadi, dan Dahlan I, namun lebih banyak yang kalah, mulai dari Anas, Jero W, SDA, dan banyak lagi. Atau model menyelinap ke daerah lain model Gayus, Nazar, Edi Tanzil, dan banyak lagi. Beberapa memang tidak bisa ditangkap, namun siapa yang bisa lolos itu, bandingkan dengan yang tidak bisa lolos, mengapa mereka bisa lolos? Karena mereka punya jaringan, uang, bahkan bisa juga kerabat di sana. Gayus dan Nazar dengan mudah ditangkap, sama sekali tidak punya pelindung. Beda dengan Riza C yang memang kaliber internasional.
Sikap media, media sosial, dan komentar sangat disayangkan, bagaimana orang yang taat hukum seperti Ahok malah dicari-cari kesalahannya, model Marsanda yang sama sekali tidak merugikan pihak lain, eh malah dihujat dengan berlebihan, sedang model LNM yang lari lebih memiliki pendukung yang lebih daripada yang menghujatnya.
Sering pandangan kita lucu dan aneh ketika mengomentari orang secara luar biasa, berlebihan pada titik yang belum jelas, hanya karena adanya perbedaan yang signifikan, bisa karena beda ras, agama, dan pilihan politik. Demikian juga dengan kebiasaan untuk melihat kekurangan dari pemimpin sukses, sedang pemimpin atau pejabat publik yang sama sekali tidak punya prestasi, malah jelas-jelas melanggar huku saja bisa tenang-tenang saja memimpin dan melaju dengan mulus, karena mau “menyenangkan” opini publik. Pejabat yang tidak perlu kerja keras dan tidak membuat perubahan lebih disukai.
Kebebasan berpendapat memang tidak ada yang salah, namun tentu memiliki norma-norma yang pantas dan bernilai, bukan semata karena kesamaan atau perbedaan dalam banyak hal. Tindakannya dan kepribadian yang pantas untuk mendapatkan apresiasi, baik atau buruk, dan itu bukan hanya suka atau tidak suka. Kecenderungan untuk mengekspresikan pendapat dan apresiasi dengan melepaskan sikap empati sering menjadi masalah dan melahirkan sikap yang tidak obyektif. Di dunia memang tidak akan pernah bisa obyektif, namun paling tidak bisa mendekati nilai yang terbaik.
Salam