Agus dan SBY, untuk Negara Kok Coba-Coba
Menyaksikan fenomena pilkada DKI salah satu yang paling menarik dan menghenyak adalah lahirnya sang calon dadakan yang bernama Agus HY. Pihak-pihak yang mendukung memang memang mengatakan sudah dipersiapkan lama, kenyang akan pengalaman, militer yang cemerlang, dan sebagainya, namun sisi coba-coba tetap saja, masih belum bisa dilepaskan. Jadi ingat sebuah iklan minya angin untuk penghangat.
Beberapa bukti ketidakseriusan dalam pencalonan:
Pertama, mendadak dalam hitungan hari secara maraton diputuskan untuk menarik Agus dari dunia militer yang masih belum begitu pas levelnya untuk seorang gubernur, DKI lagi. Jika mau berkaca dari dunia Orba yang sangat militeristik, dan itu juga bisa diterima akal sehat, jika level gubernur itu bintang dua atau tiga. Artinya memang sudah matang dalam banyak segi. Birokrasi, memimpin jajaran yang lebih luas, dan bisa menyelami anak buah dan atasan secara lebih arif bijaksana. Bukan berarti muda tidak bisa apa-apa dan yang senior itu pasti mampu, namun salah satu indikator yang bisa dibaca dengan gamblang adalah usia dan pangkat.
Dua, dalam sebuah acara televisi, memang sejak era bapaknya kurang bisa menerima keberdaan Metro dan acaranya, namun melihat keengganan untuk datang ini bukan soal hanya suka atau tidak dalam sebuah acara dan latar belakangnya, namun ketidaksiapan timses untuk bisa menjual calonnya dengan lebih baik. Ingat ini eranya media, gagal atau malah menjaga jarak dengan sebuah media yang memiliki nama dan cukup kompeten dalam dunia poltik, jelas kerugian yang cukup besar.
Tiga, dalam acara Aimar Kompas TV, semua pusat media ditampilkan, dari ketiganya, tim media Agus-Silvy jelas kelihatan kedodoran sendiri. Dua tim pemenangan lain sudah jelas memiliki apa yang mau dilakukan, eh tim Agus-Silvy, tempat saja belum punya, lebih parah lagi, cara menyikapi keadaan juga terkesan dengan gamblang setengah hati. Ruangannya saja belum punya, (waktu itu), artinya memang mereka tidak serius menggarap kampanye dan pemenangan Agus-Sylvi.
Empat, jualan masa kampanye hanya itu-itu saja, tidak ada yang baru sama sekali, selain mengutak-atik kinerja gubernur lalu, ingat bukan kritik, kalau kritik itu ada solutifnya, ada kebaruannya, dan bisa dilakukan dengan lebih baik, selama ini sama sekali tidak ada. Ini sisi dari cara menjawab kekurangan calon lain saja masih kedodoran.
Lima, kembali jualan maa lampau, program Indonesia diminikan jadi program DKI, contoh BLT, padahal sudah ada KJP dan KIP, mengapa harus mengulang penyakit lama, memperlihatkan kemiskinan yang dipampang dengan gamblang, antre, tidak tepat sasaran, dan banyak kehebohan lain yang sudah diupayakan lebih baik malah dibawa lagi mundur kebelakang. Melihat ide ini kelihatan Agus masih ada di dalam bayang-bayang bapaknya.
Melihat fakta yang ada, bisa menjadi catatan bahwa Agus khususnya:
Masih lekat dalam bayang-bayang nama besar bapaknya, bukan kemampuan sendiri dan ini lho Agus, tanpa Yudhonoyono dalam arti khusus. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak tidak akan lepas dari bapak. Melihat kinerja kedodoran SBY di level nasional dua periode, jaminan apa yang mau diberikan Agus untuk Jakarta yang jauh lebih kompleks ke depannya, belum lagi di bawah bayang-bayang kesuksesan Ahok meskipun mau dibantah toh selalu dijadikan rujukan mereka untuk menjual nama calon masing-masing. Dua bayang-bayang besar yang tidak mudah untuk dilepaskan Agus jika menang.
Apa yang ditawarkan sama sekali tidak ada yang baru, selain masih lekat dengan SBY, dan tidak berlebihan jika ada anggapan, jangan-jangan Agus ini representasi SBY-Any saja. Bukti untuk melepaskan hal itu sangat sulit, apalagi menjual “prestasi” gagal pemerintahan SBY lagi di Jakarta. Hal ini berat bagi Agus jika memang hendak maju di 2019. Ingat dunia makin maju dan makin canggih, jangan memakai pola mudah lupa, sudah tidak lagi zamannya lho.