Polisi sebagai lembaga yang dibentuk negara untuk mengawasi, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Hari-hari ini malah seolah menjadi bulan-bulanan massa ketika dengan mudah ditolak ketika mau menertibkan, dianiaya kala mau menilang, dan media menyajikan itu dengan masif, sehingga rakyat yang terdesak memiliki wawasan yang sama untuk berani “melawan”. Belum lagi pada tingkat pusat, di mana dewan malah “ngrecoki” lembaga ini dengan wacana soal pengawas Densus 88. Hampir semua lapisan masyarakat bisa dikatakan sudah tidak memberikan “respek” yang semestinya pada polisi. Khabar polisi sederhana yang sempat mengemuka, malah terkalahkan dengan adanya kasus demi kasus yang demikian.
Kinerja Polisi yang Belum Profesional.Suka atau tidak, kinerja polisi masih jauh dari harapan, meskipun jika dibandingkan era 80-an hingga ’90-an sudah jauh berubah dan bebenah. Perubahan yang belum cukup, masih ditingkahi, warga yang makin seenaknya sendiri di dalam bersikap, susah diterapkan menjadi pemicu perselisihan dengan aparat. Jangan heran kalau polisi sekarang menghentikan jalan untuk menyeberangkan orang saja susah minta ampun untuk ditaati pengguna jalan. Kewibaan yang rendah karena pengalaman lama yang diperparah oleh pengguna jalan yang lebih “liar”.
Keiirian Aparat dari Angkatan.Susah dibuktikan, namun bahwa “rivalitas” dengan angkatan ini menjadi salah satu pemicu. Kesejahteraan anggota polisi biasanya lebih baik dari angkatan, dan ini bisa menjadi pemicu bawah sadar. Tidak heran mereka sering bentrok, membakar pos polisi, kantor polisi sangat biasa, tidak ada tindakan yang pantas, itu yang ditiru oleh masyarakat.
Sikap petinggi polisi yang dinilai sewenang-wenang.Warga dan pengguna jalanan bereaksi berlebihan dengan melawan, yang kadang sangat tidak proporsional, karena melihat tayangan media yang memperlihatkan kinerja polisi yang dinilai dengan kewajaran saja sewenang-wenang. Contoh soal kontra KPK, melindungi korpsnya sendiri dan menuding lembaga lain sebagai salah, zolim, atau konspirasi.
Penghormatan pada seragam dan korp sendiri yang tidak patut atau berlebihan.Kontradiktif di mana mereka di jalanan memalukan dengan menerima suap (tidak semau lho, namun dominan, maka polisi yang mau menertibkan saja, sudah dalam benak bahwa itu cari uang, cari sarapan, dan sejenisnya). Padahal di pusat polisi berebut kedudukan, bertikai dengan kelompok lain demi korps sendiri, dana itu lebih banyak polisi yang buruk lagi.
Lembaga lain yang cenderung menyerang dan mengritisi berlebihan.Salah satu yang terbaru soal wacana pengawas densus ’88, hal ini jelas berlebihan, karena densus itu milik polisi, jelas sudah ada pengawasnya. Jangan karena satu kasus membuat dewan bereaksi berlebihan. Mengapa mereka tidak membentuk lembaga pengawas untuk mereka yang berulang-ulang maling, malas, dan tidak berguna itu. Benar bahwa densus itu tidak boleh sewenang-wenang. Sikap kritis berlebihan dari pusat ini bisa memicu orang melawan secara berlebihan.
Rekruitmen dan penempatan sesuai asal usul calon polisi sudah tepat, namun tentunya ini baru saja dimulai, jadi bisa belum optimal di lapangan. Kewibawaan dengan keramahan bisa menjembatani penilaian buruk selama ini kalau ditertibkan itu cari uang, cari sarapan, dan sejenisnya. Kewibawaan yang harus ditekankan di dalam pendidikan untuk memberikan keseimbangan kegarangan saja, sehingga polisi tidak dianggap remeh oleh maling sekalipun. Pemahaman polisi bisa dibeliini harus dikikis. Apa tidak ironis kalau polantas menghentikan kendaraan malah dihajar pakai helm?
Warga harus sadar, bahwa kalau polisi memang salah, jangan main hakim sendiri. Ada saluran meskipun sering tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Perlu diingat, apa yang akan dilakukan rekan mereka kalau kalian yang melawan itu tertangkap. Di kantor mereka lho, memang bisa media sosial mengkover kantor mereka. Kalian bisa bonyok tingkat empat dikeroyok.
Penegakan hukum dengan baik, terbuka, dan bisa dipahami bersama. Sekarang bagaimana tidak marak dengan suap di jalan, sedang sidang bisa menjadi bencana karena mahalnya denda, ribetnya waktu untuk mengurus itu, dan jelas lebih murah dna mudah main suap. Apalagi mental budaya masih senang potong kompas.
Keadaan ini memang dua pihak terlibat, polisi yang makin rendah wibawanya dan masyarakat yang dari hari ke hari lebih liar dan seenaknya sendiri sesudah masa reformasi. Warga sesuka hati sendiri dan seenaknya sendiri.
Memang masa dan era yang harus dilampaui, di mana usai kekuasaan otoriter, dan masuk pada kebebasan bisa orang itu aji mumpung,namun itu sudah harus diakhiri. Kebebasan itu juga bersinggungan dengan kebebasan pihak lain. Tidak ada yang mutlak di dunia ini. belum lagi dipakai sebagai propaganda iseh enak zamanku to... Tertib hukum, keamanan, dan beberapa hal iya, namun digadaikan dengan ketakutan akut dalam hati, dan kebebasan yang ditekan. Mana tidak takut kalau berbicara suksesi saja subversi.