Aduuh, pedih rasanya mendengar, membaca, dan menyaksikan pemberitaan mengenai lembaga tinggi negara. Kapan mendengar itu prestasi, berita ide cemerlang bagi bangsa dan negara, apalagi level dunia.
Satu demi satu membuat kisah masing-masing yang menambah panjang kemaluan bangsa ini. Tidak pernah sepi membuat sensasi pedih bagi ibu pertiwi.
KPK, sudah agak reda meskipun harus melalui badai demi badai. Kriminalisasi hingga politisasi seolah tiada berakhir mendera komisi anti korupsi itu. Kini agak mereda meskipun soal pelemahan demi pelemahan tetap saja menjadi agenda di balik layar tetap ada. Keadaan masih aman dan relatif baik.
DPR, waduh mau omong apa, target sendiri saja amburadul. Dalih demi dalih dikemukakan. Ide untuk diri sendiri tidak pernah surut. Perebutan kursi pimpinan, pimpinan yang abal-abal pola pikirnya, belum lagi sikap anggota yang sama sekali tidak disiplin, daftar hadir yang terisi rendah, namun gaji tetap saja jalan. Sama sekali tidak ada harapan dari Si Kura-Kura Hijau ini.
DPD, saudara muda DPR ini, sama saja setali  tiga uang, mau dibubarkan bukannya bebenah, eh malah berkelahi, ujung-ujungnya kekuasaan semata. Muara dari kursi, yo jelas uang. Waduh persoalan daerah itu banyak, bukannya mengurangi benang kusut, eh malah membuat tambah kusut.
BPK, ini bukan soal Ahok, jadi jangan sensi. Apa yang mau saya ambil soal alamat perusahaan sang ketua yang memakai Gedung Kura-Kura untuk perusahaannya di luar negeri. Ini obyektif dan tidak akan ada yang sensi. Soal SW bisa ramai. Lha bagaimana kalau lembaga pemeriksa saja diketuai pimpinan model demikian. Membantah namun ketika terdesak membantah dan membentak pas ditanya. Apa pantes? Memprihatinkan, kejujuran masih mahal, apalagi mau mundur.
MK, waduh, sempat babak belur adanya pemakaian surat palsu (eh yang mendapatkan manfaat masih ayem tenterem di sebelah), membawa korban satu hakim. Bebenah dan menjadi baik, kemudian tiba-tiba jagad peradilan geger dengan adanya tangkap tangan sang ketua, dan diketahuilah sekian banyak kasus yang bisa diperjualbelikan seperti mendoan saja di MK itu. Kali ini, kembali bangsa dihenyakkan dengan kasus sang ketua titip familinya ke kejaksaan agung. Hukuman etik teguran lisan ringan, karena tidak ada nilai negatif. Lha kalau nitip famili bukan negatif mengapa ditegur? Titip, jelas saja menghianati reformasi, beda jika yang dititipkan itu orang yang tidak dikenal namun cerdas, tidak mampu, dan sangat potensial. Lha ini famili.
MA,beberapa hakim memberikan pencerahan dan harapan tegaknya hukum di Indonesia, namun bahwa mereka secara institusi masih banyak kekurangan iya. Belum lagi kemarin baru saja ketahuan adanya main mata antara petinggi MA ditengarai soal mempermainkan pasal dan hukuman.
Lembaga yang lain sama saja dan setali tiga uang. Tidak banyak berbuat atau malah nyaris tak terdengar. Sekalinya terdengar ujung-ujungnya uang dan masalah, kembali bukan prestasi. Apakah ini  pesimis dan negatif saja? Saya menilai ini  realistis keadaan negara yang harus jujur diakui sehingga ada perbaikan. Jika mengatakan baik-baik saja, ya jangan heran akan selalu buruk dan busuk.
Apa dasarnya kejadian demikian masif?
Pelaku atau pejabat itu bukan negarawan, namun pencari kerja.Sikap tamak dan selalu mencari untung membuat mereka melompat-lompat, dari dewan ke lembaga lain. Apa akibatnya, kadang tidak profesional, bahkan ada yang tidak mampu pun bisa duduk di sana. Jika negarawan itu sudah usai dan tidak lagi mencari uang yang utama.