Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

AADC: Ada Apa dengan Cakil, Cakil dan Anak Jalanan

14 Mei 2016   21:01 Diperbarui: 14 Mei 2016   21:04 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fenomena Cakil lagi menggemparkan K, tanda tanya siapa di balik helm cakilnya, cara berkomunikasi yang mirip-mirip dengan akun A, atau akun B, malah membuat makin penasaran. Satu dua terkesan jengkel karena anak baru setiap artikelnya naik tahta NT. Itu dewi fortuna yang menaungi Cakil, dan tidak ada yang salah, biarlah demikian, makin kerasan dan makin ramai K.

Salah satu keberadaan Cakil itu untuk meningkatkan kualitas ksatria. Bagaimana ksatria mau memanah kalau tidak ada cakil, memanah pepaya juga gak ada faedahnya. Apa tugas ksatria kalau begitu. Semua peperangan itu akan pasti dimenangkan oleh ksatria. Cakil keluar hanya untuk mati. Tragis ya? Lha memang sudah demikian keberadaannya.

Sinetron Anak Jalanan. Tidak bosan-bosan saya mengupas hiburan tak sehat ini, bagaimana tidak, anak sekolah lebih banyak berkelahi daripada belajar dan membuka buku. Ada satu tokoh ini minta ampun bloonnya. Selalu disuruh untuk melakukan kejahatan, dihajar, dan selalu kalah, namun mau-maunya. Wah in icakil era modern, naiknya motor sport, jaket kulit, rambut dicat, namun bloon, diminta menghajar orang namun dia sendiri selalu dipecundangi, hampir setiap saat ada pekerjaan yang bodoh namun dilakukan, dan menyalahkan rekannya ujungnya.

Mau Menghajar Pacar Tokoh Utama, eh malah dihajar sopr pribadinya. Gaya petentang petenteng dan menantang seperti tidak takut, eh dihajar oleh sopir. Padahal mereka keroyokan, eh kalah hanya oleh satu orang. Kebodohan dipelihara.

Diminta Ibu Tiri Muda Jahat,untuk menangani suaminya, ia artikan bunuh, akhirnya dia buat rem mobil si suami itu blong. Tidak terjadi kecelakaan, eh malah anak buah si tokoh ini ketangkap polisi, dan dia aman karena mengancam ank buahnya. Memelihara kebodohan untuk melakukan kekerasan dengan tidak kritis sama sekali.

Naksir Anak Tiri eh Kencan dengan Si Ibu Tiri,hanya menjual kebebalan, bagaimana naksir anaknya eh malah kencan dengan istri orang. Makan malam dengan istri orang, ibu-ibu lagi, lha menjadi lakon untuk dipermalukan saja.

Diminta Menghajar Tokoh Utama,sudah tahu berkali-kali kalah, masih juga maju untuk malu. Haduh, anak muda yang tidak tahu diri, tidak tahu malu, dan tidak tahu batas. Jelas saja kalah, eh masih juga mau maju untuk melawan, ini namanya tindakan gegabah, mau menang dari mana dia sendiri tidak belajar dan berlatih? Menyajikan kisah pokok berani, namun tidak tahu diri.

Mau Menabrak Tokoh Utama,eh malah nabrak anak buah sendiri. Tindakan yang sama sekali tidak ada nilai pendidikan, selain mengajarkan kebebalan berulang. Anak buah terkapar melarikan diri, meneror saksi dan mengancam yang mau mengatakan kejadian. Kejadiannya diubah untuk menguntungkan diri sendiri atas nama kebersamaan.

Apa yag terjadi dalam dua hiburan, cakil dan anak jalanan ini adalah dua-duanya hiburan. Sama-sama jadi obyek penderita, selalu kalah, namun ada penjelasan dalam kisah pewayangan. Berbeda dengan sinetron yang tanpa adanya penjelasan. Ini menjadi persoalan karena imajinasi dibebaskan oleh keberadaan bentuk media elektronik, namun menjadi masalah karena imajinasi bebas itu bisa tidak terkendali.

Wayang, si dalang memaparkan nilai-nilai yang ada di sana. Bagaimana tokoh itu melakukan pilihan hidupnya dengan jelas dan penuh pemaknaan. Berbeda dengan dunia visual televisi ini. Pemaknaan yang dibiarkan demikian saja bisa salah, karena belajar yang buruk itu jauh lebih mudah dan tidak perlu guru sudah langsung jadi. Kebaikan yang hendak ditawarkan bisa menguap karena memang samar dan kalah intens dengan yang jahat.

Salam Cakil

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun