Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sah IQ 78,4 Taksonomi Bloom Membuktikan

10 Oktober 2024   16:24 Diperbarui: 10 Oktober 2024   16:36 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih mengerikan lagi, sebagaimana guru-guru agama yang memaksa muridnya untuk menghafal ayat, ketika tidak bisa dihukum squad jump dan meninggal itu. Ingat itu    menghafal, pun banyak jalur hafalan untuk bisa menjadi tentara, polisi, mahasiswa, jurusan-jurusan kuat pemahaman dan penerapan, tidak sekadar hafalan.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan hafalan. Contoh, angka, huruf, dan unsur kimia toh juga perlu dihafal. Atau tasrif dalam bahasa Latin, bentuk 1,2, dan 3 dalam kata kerja bahasa Inggris juga perlu dihafal.

Masalahnya adalah, tidak semua hal kudu hafalan. Tidak satu-satunya hafal, namun ada juga memahami, mampu menggunkannya atau mengaplikasikannya.  Bagaimana bisa orang belajar, namun tidak mampu menggunakan ilmunya itu.

Tidak heran, ketika hanya membaca satu buku, Kitab Suci saja, bukan buku ilmu pengetahuan. Lebih dari 60% pelaku membaca hanya kitab suci. Wajar kan, ketika peringkat PISA dalam numerik dan literasi sangat parah. Sepakat, bahwa ada peningkatan dalam peringkat PISA namun belum cukup.

Wajar pula ketika otak hanya dipakai untuk kemampuan paling dasar dari teori Bloom, maka kecerdasannya juga ada di posisi paling bawah seperti. Benar, banyak pemenang olimpian sains dari Indonesia, namun jauh lebih banyak yang ngaco. Lihat saja dalam media sosial yang hanya ngaco, caci maki, dan ujaran kebencian lebih banyak, hampir bisa dipastikan mereka rendah literasi dan intelektualnya.

Tabiat senggol bacok, mudah tersinggung, dan gampang diadu domba, ciri-ciri kecerdasan sangat lemah. Emosi yang dikedepankan. Maaf, ini kan otak binatang, di mana hantam dulu, pikirkan kemudian. Manusia tidak demikian harusnya. Harus berpikir, untung rugi.

Mudahnya hoax menyebar. Susah menganalisis   sehingga sangat mudah ditebari dengan berita-berita bohong, hoax, atau setengah data. Mau menganalisis bagaimana, ketika memahami saja sudah pusing. Sebar itu sebagai sebuah cara mudah, dan ternyata salah. Itu sangat mudah terjadi.

Menerapkan pengetahuan bagaimana ketika memahami saja tidak paham. Hal ini sering menjadikan frustasi, hanya ikut-ikutan. Lihat saja konten-konten media sosial hampir seragam, karena memang susah untuk bisa menerapkan pengetahuan yang sudah diperolehnya.

Mengapa ketika ada kreasi banyak yang menghujat, bukan mendukung?  Hanya ada orang banyak yang iri-dengki semata. Karena tidak bisa melakukan, kemudian mencela. Cek saja ketika ada tayangan di media sosial, pencemooh, pencaci maki pulak, begitu banyak. Pas dilihat akunnya, mereka ini tidak memiliki karya dan cipta mereka.

Lebih gede omongan dan komentar dari pada melakukan. Itu dominan.

Bagaimana orang mencemooh, mobil SMK, televisi rakitan yang dituduh pemalsuan  merek, dan sejenisnya.  Tidak ada kebanggaan karena takut berkreasi. Belum lagi dihakimi dogma. Mau membuat perizinan wine kedondong malah disuruh membuat manisan. Mana inovasi dan kreasinya coba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun