Penegakan hukum yang tebang pilih. Lihat saja berapa banyak kasus penistaan agama, dugaan pelecehan agama mayoritas ke minoritas yang tidak tuntas. Orangnya masih cengengesan dan terus mengulangi perbuatannya. Hal yang tidak berlaku pada kasus sebaliknya, fakta dan kesaksian yang meringankanpun akan mudah dieliminasi oleh penegak hukum.
Permisif. Sering alasan penegakkan hukum gagal karena delik aduan. Si pengadu lemah dalam legal standingnya. Lembaga resminya enggan untuk berurusan yang remeh temeh. Hal ini yang membuat menjamur. Kadang sangat remeh dan bisa menjadi besar karena memang ada yang menjadikannya bahan untuk sesuatu. Ingat kisah 212. Politik yang menunggangi agama.
Kedewasaan. Pengampunan memang penting, namun penegakan hukum juga tidak kalah penting. Negara hadir bagi siapa saja yang menjadi korban. Jangan hanya karena mayoritas, sama agamanya dengan penegak hukum langsung gerak cepat. Hal ini menunjukkan kedewasaan beragama dan bernegara.
Pasal karet. UU ITE sering menjadi bahan jerat dalam berinteraksi dalam media sosial, berbasis internet. Hal ini  membuat pegiat  dan konten kreator gamang. Padahal pornografi, pinjol, judol, dan penipuan basis digital banyak banget. Malah mereka lolos dari jeratan hal ini. Miris sebenarnya dengan pendekatan hukum model ini.  Â
Hukum abai etika. Panglimanya adalah hukum, namun abai akan etika. Sepanjang prosedur sudah dijalani dianggap baik-baik saja. Nah, di sinilah peran etika berbicara. Ketika baik, benar, salah, dan buruk saja terjadi dalam penegakan hukum dan tidak dibedakan, ya sudah. Kiamat. Penegakkan hukum akan tepat sepanjang sesuai dengan etika.
Pancasila sebagai dasar negara sering kalah karena viral atau tekanan publik yang mayoritas. Lha penegak hukumnya bias karena kesamaan dengan masalahnya. Ada konflik kepentingan, karena lagi-lagi soal kedewasaan.
Pendidikan yang tidak memberikan kemampuan analitik, hanya berdasarkan hafalan melahirkan birokrat, penegak hukum, dan juga masyarakat yang tidak mampu memilah dan memilih. Sikap kritis ini sangat penting untuk memiliki jiwa besar, cerdas, dan mampu memiliki  otonomi.
Salah satu sikap tidak dewasa itu ya mudah tersinggung. Tergantung pada khalayak ramai atau umum, bukan pemahaman sendiri. Â Jika mampu dan otonom, sangat kecil kemungkinan untuk tersinggung. Â Â Â Â
Agama, lha ini masalahnya. Orang sering terlalu fanatis ke luar, tidak ke dalam. Jadi mudah tersinggung, takut pada ajaran yang lain alias paranoid. Takut kalau agama lain akan merusak, menghina, dan menggoda jemaahnya.  Padahal tidak sepenuhnya demikian. Hal ini  yang harus dijembatani dan ditemukan titik temunya.
Hidup bersama itu gampang sebenarnya, sepanjang mau memahami, tidak minta dipahami. Abai kemanusiaan dan lebih cenderung keuangan dan keagamaan. Belum sampai pada Tuhan, masih mandeg di agama.
Terima kasih dan salam