Mahalnya Pendidikan Tinggi di Indonesia, Kita Bisa Apa?
Bulan lalu, seminggu ada dua rekan yang berkisah bahwa anak- anaknya bersekolah di China, satu di RRC dan satunya di Taiwan. Keduanya memberikan pernyataan yang sama, bahwa lebih murah kuliah di sana dari pada di Indonesia.
Eh malah disusul dengan cerita dan pembicaraan yang amat panas mengenai beaya pendidikan di Indonesia yang demikian tinggi. Naik edan-edanan. Ada komentar dari kementrian  yang seolah-olah itu adalah kewajaran, karena pendidikan tinggi termasuk  kebutuhan tersier bukan kewajiban sebagaimana pendidikan dasar.
Hal yang cukup memprihatinkan, di mana begitu banyak  persoalan mengenai kemampaun intelektualitas bangsa ini. Bagaimana tidak, ketika minat baca sangat rendah, hal ini jelas berkaitan dan berkorelasi  dengan  pendidikan. Semakin rendah pendidikan,  orang juga cenderung malas membaca.
Laporan yang mengatakan IQ bangsa ini rata-rata 78 dan cukup menggembirakan sudah beranjak di angka 83. Toh masih terlalu jauh di bawah negara tetangga yang mencapai 100 lebih. Sangat memrihatikan.
Apakah  kiamat dengan tidak kuliah?
Sama sekali tidak  juga. Toh banyak peluang bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus masuk jenjang perguruan tinggi. Pak Harto tidak pernah kuliah bisa jadi presiden 32 tahun. Tidak akan pernah ada yang bisa menyamai capaiannya. Luar biasa  toh.
Dunia makin modern. Semua bisa dipelajari via internet. Tidak perlu juga kuliah, asal ada kemauan. Ilmu tidak mesti dari bangku kuliah. Dosen juga bisa dari mana saja, tidak harus dari kampus. Masih banyak jalan menuju Roma.
Kemauan. Bagaimana orang mau maju toh banyak juga   orang jebolan perguruan tinggi namun perilaku dan pekerjaannya malah tidak mencerminkan apa yang mereka pelajari. Ada kisah menarik, ketika tetangga menilai bahwa tetangga kami yang orang kuliahan namun jualan yang sama saja dengan yang tidak kuliah.
Peluang selalu ada. Kini dengan   dunia digital dan internet semua bisa dipelajari dan bisa menjadi apa saja. Toko online, pekerjaan via internet, sering yang dinilai adalah karyanya, bukan karena titel atau gelarnya. Penilaian dari konsumen adalah apa yang dihasilkan, bukan apa yang dilampirkan dalam selembar ijazah.