Hari Pangan Sedunia. Tahun ini lebih menarik karena bertepatan dengan mulainya gelaran politik dalam pilpres. Salah satu poin dari para kandidat adalah mengeai ketahanan pangan. Presiden Jokowi berkali ulang menyoal hal ini, salah satu program andalan, yang ternyata gagal dalam aplikasi karena persoalan politis.
Setiap pertengahan Oktober dunia memperingatiPenanggung jawab dan pelaksana yang tidak mampu memahami apa yang presiden kehendaki, inginkan, dan tentunya angankan. Eh malah salah satu motor penggeraknya, yakni Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo kena kasus KPK.
Padahal sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan, jika program ketahanan pangan akan sukses di tangan Ganjar Pranowo, padahal jelas-jelas penanggung jawab program ketahanan pangan saat ini adalah Prabowo. Keduanya bakal kandidat presiden di pemilihan presiden 2024.
Ketahanan pangan, namun juga sekaligus gaya hidup membuang makanan, ini sangat paradog. Menggenjot produksi untuk memberikan jaminan pangan tidak akan kekurangan, namun tidak ada penghargaan atas pangan yang ada.
Konon, kata LSM yang berkecimpung dalam isu-isu lingkungan, Indonesia penyumbang sampah makanan nomor tiga di dunia, setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat. Miris. Mencapai 40% lebih, meningkat tajam dari tahun 2021.
Sebelum bicara mengubah pola pikir dan cara bijak mengurangi sampah makanan, artinya menghargai rezeki, pemberian Tuhan Allah berupa makanan, Â toh yang sudah terlanjur bisa diubah menjadi pupuk.
Eco enzim. Sampah makanan nabati, seperti sayur-sayuran, sisa nasi, kecuali daging, ikan, dan susu dicampur dengan air, gula atau tetes tebu atau molasis, diberi bakteri contih EM4 bisa menjadi pupuk cair, pengganti pengharum lantai waktu ngepel. Ramah lingkungan, dan bukan kimia buatan.
Kedua, pupuk, dikomposterkan dengan penambahan tanah, sampah rumah tangga, kalau yang ini bisa ada limbah daging, telor, ikan, atau olahan susu.  Bisa dengan menggunakan plastik tebal atau beli di toko --toko online sangat mudah  dan relatif terjangkau. Jadi pupuk padat, atau tanah siap tanam.
Ketiga, bisa pula dijadikan tepung daging, ikan, atau tulang. Bisa menjadi pupuk, pakan hewan peliharaan. Memang agak susah dan ribet, namun sebagai upaya menanggulangi sampah makanan ini bisa menjadi sebuah tawaran solusi atas keberadaan sampah makanan yang   demikian besar.
Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk PLN dan matinya lampu bukan? Toh perilaku ugal-ugalan kala makan itu sudah begitu mengerak. Toh masih bisa disadari untuk diubah.
Satu, biasanya makan sesuai takaran, kalau mengambil makanan prasmanan, apalagi di tempat kondangan, merasa "gratis", aji mumpung karena memberikan sumbangan gede, atau alasan konyol lainnya.  Sikap  mental.