AHY, Demokrat Tidak Baik-baik saja
Beberapa hari lalu membaca berita mengenai pembelian lukisan karya SBY senilai Rp.510 juta oleh mantan menterinya waktu berkuasa. Uang senilai setengah milyar lebih itu dibayarkan untuk lukisan. Tentu bukan kapasitas untuk menilai harga lukisan itu, namun mengenai narasi yang berkali ulang AHY katakan negara sedang tidak baik-baik saja.
Badai akhir Agustus 2023 kini membuat Demokrat sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak, ketika Muhaimin menemui Surya Paloh dan menunjuknya menjadi pasangan Anies  Baswedan, usai penantian panjang, hampir satu tahun. Suka cita bagi PKB dan Cak Imin, tidak demikian dengan AHY dan Demokrat.
Posisi Cak Imin jauh lebih "menguntungkan", selain suara partainya cukup besar, ia bisa ke mana-mana. Meninggalkan Prabowo, ia masih bisa berpindah ke Ganjar Pranowo, sama sekali tidak ada ganjalan. Enak saja baginya untuk ke mana-mana.
Mau bersama Anies sebagaimana kini sudah diyakini benar oleh publik itupun bisa. Hanya soal bersama PKS, toh dua periode pemerintahan SBY, mereka berdua juga bareng-bareng. Tidak ada masalah.
Tetap di Koalisi Indonesia Maju  sebenarnya juga bisa. Hanya saja peluang menjadi pasangan Prabowo makin kecil. Artinya di koalisi apapun baik-baik saja bagi Cak Imin.
Lan ketika bicara mengenai AHY, Demokrat. Ada saja penghambat di tiga kemungkinan koalisi yang bisa terbentuk. Â Sangat berat bagi AHY.
Ganjar Pranowo dan PDI-P. Publik masih paham, bagaimana "perselisihan" pepo bersama Megawati. Kisah pilpres sejak 2004 yang masih belum bisa pulih seutuhnya. Hal yang memang tidak mudah dan bisa dipahami, perasaan Megawati dikalahkan lagi sampa dua kali.
Mau bergabung dengan Prabowo jelas sulit, sama-sama tentara dan itu hambatan cukup besar jika mereka mau melangkah lebih jauh. Sangat rentan dijadikan bahan kampanye buruk bagi pasangan mereka.
Makanya mereka, AHY begitu kekeh untuk bersama-sama dengan Anies Baswedan. Di mana hanya ini satu-satunya tempat bagi mereka. Di luar sudah tidak ada kesempatan lagi.
Merunut ke belakang, mereka ini, Demokrat selalu memilih untuk netral, tidak memihak mana-mana, namun akibatnya adalah kesulitan bagi mereka bicara lebih banyak. Bersama dengan besannya Hatta Rajasa sebagai calon wapres bersama Prabowo, namun  mengaku dengan keras bahwa ia netral. Padahal mendukung juga tidak salah.
Sikap Demokrat inilah yang membuat makin sulit langkah partai ke depannya. Lakunya selama dua periode pemerintahan ini juga demikian. Hal yang  seolah-olah baik, padahal publik paham, mereka seperti tong kosong nyaring bunyinya. Tidak ada hal baru yang mereka nyatakan. Hanya ribet dan ribut saja.
Persoalan lain, yang membuat Demokrat tidak baik-baik saja adalah, keberadaan kader dan elit yang terbuang sekarang ini. Â Jangan dikira menang di peradilan perkara selesai. AHY pastinya paham banget, bagaimana sejarah Demokrat yang sebenarnya. Kekecewaan yang menumpuk ini bisa menjadi bom waktu bagi partai mersi ini.
Benar, peradilan sampai MA dan PK mengesahkan AHY sebagai ketua umum, namun sejarah tidak bisa dihapus dengan mudah. Apalagi ini era media sosial dan internet, dengan sangat mudah rekam jejak itu bisa muncul kapan saja.
Masih ada "korban" politik masa lalu Demokrat. Ada nama-nama besar Anas Urbaningrum, mereka ini memiliki gerbong cukup besar, pasti tidak akan tinggal diam saja terus menerus. Mereka pasti juga akan mengadakan perhitungan, entah bagaimana caranya dan kapan waktunya. Salah satunya mereka berpartai dan akan membuat keadaan Demokrat tidak akan baik-baik saja.
Pengulangan narasi, nyinyiran kepada siapa saja yang dinilai merugikan mereka. Dikit-dikit istana, apapun kejadiannya Jokowi dalangnya. Â Mulai dari pengambilalihan Demokrat oleh kubu Moeldoko, AHY juga menuding Jokowi mau kudeta. Â Anak ini kuwalat, tidak sopan kepada senior, presiden pula.
Merendahkan pembangunan yang masif, padahal kalau ia paham kesulitan negara ini ya karena infrastruktur yang tidak memadai. Sama sekali tidak paham kondisi real bangsa, namun sok-sokan sudah tahu segalanya. Ini  karena kurang mengerti keadaan. Ia hidup dalam menara gading. Penasihatnya cenderung abs.
Utang negara yang selalu diulang-ulang, padahal dengan gampang diketahui  asal usul dan jumlah utang itu berapa. Kegunaannya untuk apa saja. Lha yang menghambur-hamburkan untuk subsidi, untuk proyek mangkrak juga publik paham dengan baik kog.
Penolakan RUU yang  selalu saja mereka lakukan itu tidak menarik bagi publik. Lha bagaimana itu membuat pemilih suka, faktanya tidak sebagaimana Demokrat nyatakan. Mereka tidak tahu dengan baik keadaan masyarakat secara utuh dan benar. Kembali karena   tidak pernah hidup susah.
AHY sama sekali tidak pernah berani bersuara lantang pada kondisi yang justru pemerintah lemah, korupsi, intoleransi, kekerasan di sekolah. Itu tidak seksi bagi politikus pusat, namun hidup bersama warga secara langsung. Jika terdengar suaranya pasti publik akan melongok.
Coba ubah strateginya, AHY membangun kota atau kabupaten dengan proyek besar, program keren, dan cerdas. Tidak hanya konsep dan omong semata. Perlu pembuktian. Itu pasti akan menjadi golden tiket. Tahu bagaimana Risma, Jokowi, Ahok, atau Hadi Mulyo menjadi kecintaan publik? Ya karena mereka bekerja, dan sukses.
Narasi penting, namun kerja itu bukti. Fakta itu terlihat dari kinerja baik, bukan semata narasi, apalagi hanya nyinyiran.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H