Belajar Bersalah dari Ferdy Sambo dan Ahyudin-ACT
Beberapa waktu ini, kita disuguhi pembicaraan kasus demi kasus pidana yang melibatkan banyak pihak. Kasus Ferdy Sambo menyeret puluhan polisi dari perwira hingga tamtama. Kasus Ahyudin sebenarnya sudah cukup lama, namun persidangan dan pembelaan dirinya kog beririsan dengan persidangan kasus polisi tembak polisi.
Satu kesamaan, mereka merasa baik-baik saja, tidak bersalah, dan menyeret pihak lain sebagai pelaku yang seharusnya bertanggung jawab. Padahal tidak seharusnya begitu. Pernyataan saja tidak cukup. Namun bagaimana, sikap, tanggung jawab, dan juga komentar selanjutnya itu penting.
Jelas artikel ini bukan soal agama, atau agama pelakunya, namun perilaku orang beragama, yang hanya fasih pada ritual dan apalan, bukan pengamalan, apalagi  jadi jalan hidup.
Ferdy Sambo malah menuntut siapa saja yang ia anggap sebagai  pelaku yang menjeratnya. Ada Kapolri dan Presiden, walaupun akhirnya dicabut. Toh sudah sempat menyeruak aksi itu. Jelas-jelas ia menjadi dalang sehingga begitu banyak perwira tinggi, menengah, bintara, dan bahkan tamtama harus  mengubur masa depan mereka.
Padahal di antara mereka banyak yang sudah memiliki anak, masa depan mereka ikutan suram. Sama sekali tidak ada sesal. Lihat saja malah bersikukuh, kalau itu membela harkat keluarga. Sah-sah saja apapun alasannya, namun bahwa sikap bertanggung jawab dan salah itu juga penting.
Ahyudin, didakwa mengambil uang hak korban kecelakaan pesawat dan juga uang sumbangan masyarakat. Perasaan bersalah  dan bertanggung jawabnya juga sama lemahnya. Bagaimana ia bersikukuh soal gajinya yang tinggi itu benar. Padahal tidak  begitu, bukan lembaga bisnis yang berorientasi keuntungan, namun organisasi sosial. Gaji, honor, atau upah ya selayaknya.
Eh malah minta dibebaskan dengan alasan memiliki 14 anak, masih kecil-kecil. Apakah ketika ia ngemplang uang bantuan ia juga ingat di antara mereka juga ada anak-anak yang kehilangan saudara, atau orang tua?
Ketika menentukan gaji, apakah ia ingat bahwa anak-anak yang harusnya ia bantu lebih membutuhkan. Bisa diyakini itu semua tidak ada. fokusnya pada diri, kebutuhan sendiri atau keluarga, dan mana mau tahu keadaan pihak lain.
Egoisme. Pendidikan kognisi dan agama bangsa ini abai mengolah rasa. Fokus ke diri sendiri, merasa diri tidak pernah salah, menuding pihak lain yang keliru, kudu bertanggung jawab atas perbuatan buruk pihak.