Jurnalisme Warga antara Harapan dan Kengerian
Beberapa waktu lalu, kala mantan Kadiv Propam Polri dinyatakan tersangka dan ditahan, seorang rekan Kompasianer di media sosial mengatakan, selamat pada netizen bisa bobo nyenyak menunggu tugas berikut. Mau mengatakan bahwa tekanan warganet membuat polisi bersikap dengan tegas dan lugas.
Pada sisi lain, bertemu dengan pensiunan wartawan yang sangat tepercaya di negeri ini, yang merasa prihatin keberadaan jurnalisme warga, termasuk juga pegiat media sosial yang tidak ada sama sekali filter dan lembaga yang bisa menjadikan  para pelaku media awam ini bisa dikelola dan diawasi dalam koridor yang semestinya.
Jurnalisme warga, kini hampir semua media memilikinya dengan beragam nama, gaya, model, dan daya tarik  masing-masing.  Keberadaan jurnalisme awam ini menjembatani pelaku jurnalis profesional, arus utama, dan juga media biasa yang banyak memiliki data namun tidak bisa tertuangkan dalam sebuah tulisan.
Begitu ketat media arus utama sehingga keluar menjadi sebuah produk jurnalistik, opini ataupun berita. Ada editor, ada redaktur, ada begitu banyak meja yang harus dilalui sehingga bisa tersaji di depan pembaca.
Ada pula info, fakta, data, ataupun asumsi yang sangat menggoda dan mengganggu  pikiran dan naluri jurnalis, namun sangat mungkin akan tertolak di meja dewan redaksi dengan berbagai kepentingan. Jurnalisme warga menjadi sebuah solusi jitu agar rasa penasaran itu tidak menjadi bisul.
Lihat saja begitu banyak wartawan senior yang juga "nyambi" di Kompasiana. Mereka   saja bisa  menulis yang berbeda dengan apa yang digelutinya dalam dunia profesional, namun tidak sedikit yang menuangkan gagasan saa dengan dunia sehari-harinya.
Harapan
Kala media arus utama sangat mungkin "terbeli" oleh kepentingan. Berapa banyak sih yang terlibat di dalam sebuah penulisan sehingga menjadi opini atau berita? Itu sangat terbuka kemungkinan dijadikan obyek bayaran demi kepentingan sesuatu. Asumsi yang sangat logis. Â Mafia, kepentingan politik, atau apapun bisa jadi mengatur apa yang boleh dan tidak ditulis.
Harapan itu ada dalam bentuk jurnalisme warga. Berbeda dengan jurnalis arus utama yang terbatas pelakunya. Dalam jurnalisme warga, siapa saja bisa menulis, siapa saja bisa beropini, dan bisa mendadak menjadi pakar.