Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bechi-Jombang, SMA SPI, ATC, dan Penegakkan Hukum

8 Juli 2022   13:28 Diperbarui: 8 Juli 2022   13:29 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lingkaran setan, melanggar hukum, ditegasi oleh aparat hukum, menggunakan terminologi agamis, pemerintah anti agama. Aneh dan lucu, ketika berkoar-koar agama, namun dengan mulut yang sama mengutuk kebaikan dan membela kejahatan. Miris, mana ada agama di dunia ini yang mendukung, melindungi, dan malah nyaman berkelindan dengan kejahatan sih?

Beragama, hanya sebatas label dan ritual. Jangan kaget dan terkejut, ketika kejahatan masih merajalela di tengah hingar bingar lantunan dan hafalan ayat-ayat suci.   Belum selaras dan esensi beragama belum sampai pada hakikatnya. Pedoman hidup, jalan hidup, dan laku. Masih sebatas ritual dan memisahkan bukan menyatukan.

Gila hormat. Kehormatan didapat karena harta, kepemilikan, bukan karena keberanian berproses sehingga wajar kejahatan merajalela. Apa yang dimiliki yang menjadi dasar penghormatan, bukan cara mendapatkannya. Korupsi alias maling, penjahat kelamin karena kaya juga bisa melenggang.

Beberapa pihak dan kelompok memang memanfaatkan situasi ini. Bagaimana keadaan         saling curiga, tidak memiliki sikap kritis, pertentangan agama, dan pembelaan bak babi buta menjadi sebuah  sarana untuk menguasai negara ini. Ditingkahi oposan dan barisan sakit hati yang memiliki prinsip waton sulaya. Apapun menjadi gorengan untuk bisa berharap mendapatkan kekuasaan tanpa pemilu.

Masyarakatnya lemah literasi. Membaca yang tidak menjadi budaya, sehingga memahami masalah dan persoalan kacau balau. Masih kentalnya pemahaman pemimpin terutama spiritual itu sudah pasti benar menjadi masalah lebih rumit. Enggan membaca, apalagi era digital, membaca judul dan menerima link hanya melihat sekilas seolah-olah itu kebenaran asli. Meminjam istilah Prabowo, belum pinter-pinter amat.

Kondisi tersebut, diperparah oleh lemahnya taat azas, maka lahirlah makelar kasus, peradilan itu berarti uang, dan jangan pernah berurusan dengan pengadilan bagi si miskin. Tidak terkover BPJS.  Belum ada tindakan nyata apa-apa mengenai hal ini. Dagelan, drama, dan kelucuan demi kelucuan dunia penegakkan hukum terus terjadi dan makin vulgar.

Apa yang bisa dilakukan?

Pertama. Latihan membedakan, kasus per kasus, jangan mencampuradukkan dengan segala sesuatu. Ranah politik, hukum, agama, atau sosial. Bagaimana tidak kacau, ketika memang ada gerakan untuk membuat kekacauan publik.  Kasus politik dikaitkan dengan agama. Hukum diselesaikan dengan dalil agama, atau politik, ya kacau jadinya.

Kedua. Agama, kembali pada yang hakiki, azasi, di mana agama tidak sekadar label atau simbol, namun menjadi gaya hidup. Kaum munafikun akan    tereliminasi jika sikap demikian bisa terjadi. termasuk elit beragamanya juga perlu kembali merenungkan makna agama.

Ketiga, penegakkan hukum secara murni dan tegas tanpa pandang bulu, mau politik, identitas, atau apapun. Semua sama di mata hukum. Ini yang perlu keberanian mengubah kebiasaan dan tradisi salah selama ini.

Keempat, pengawasan hukum  dan pengawas hukum kudu bersih dari kepentingan ideologi lain, selain Pancasila. Ini hanya bisa jika berani dan memiliki integritas luar biasa. Tidak takut terkucilkan di antara penyamun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun