Puan Mempermalukan Diri  dan Ibunya, Bukan Jokowi
Hari-hari ini media sosial diramaikan dengan video yang memperlihatkan, Megawati menerima Jokowi, pada sisi lain ada Puan yang asyik dengan hapenya. Tingkah Puan ini yang banyak menjadi bahan perbincangan. Biasa pro dan kontra.
Narasi yang berkembang adalah, Puan merasa diri di atas angin. Anak ketua umum partai terkuat saat ini. Di depan  Jokowi tidak tahu etika sopan santun. Seolah mempertontonkan bahwa  ibunya, Megatawilah yang lebih berkuasa dari pada Jokowi. Itu narasi publik yang ada.
Apakah seperti itu saja yang bisa menjadi persepsi dan wacana? Sangat bebas menafsirkan apapun dan itu hak di negara demokrasi. Beberapa hal yang bisa diulik dan itu bisa  benar, bisa saja keliru. Yang paham dengan apa adanya ya jelas Puan sendiri.
Narasi pertama, Puan mau mempermalukan Jokowi. Meskipun presiden tanpa Mega selaku ibunya dan juga PDI-P ia tidak akan jadi presiden. Artinya Jokowi itu bukan siapa-siapa. Tidak usah belagu dan merasa diri gede.
Narasi kedua. Mengapa dengan meja model kerja atasan bawahan? Karena Megawati sebagai ketua umum PDI-P ia adalah "atasan" Jokowi. Ia, Megawati sebagai penguasa dan juga pembesar, dan Jokowi adalah anak buah, bawahan, petugas yang bisa ia apa-apakan sesuai dengan kekuasaan yang ia miliki.
Narasi ketiga, Puan merasa di atas angin, bahkan dengan Jokowi sekalipun. Ketua DPR ini seolah anak kecil yang mendapat mainan baru di depan pesaingnya di kelas. Di depan ibunya ia merasa lebih gede dan akan mendapatkan apapun yang dimintanya.
Narasi keempat, Jokowi sebagai "petugas" partai bukan siapa-siapa di depan Megawati selaku ketua umum dan juga Puan selaku elit partai. Lugas dan tanpa beban Jokowi melambaikan tangan ke kamera yang diputar-putar oleh Puan.
Apa yang terlihat itu belum tentu apa yang dirasakan dan juga dimaksudkan siapapun yang menjadi pelaku di sana. Pun publik juga berhak menafsir apapun dengan segala asumsi, persepsi sesuai dengan kepentingan, pengalaman, latar belakang, dan harapannya masing-masing.
Ini adalah permainan politik. Jangan berpikir bahwa itu semua rigid dan hanya pendapatnya saja yang benar. Ide, gagasan, dan narasi orang  lain pasti keliru, salah, dan tidak bermutu. Politik tidak demikian.