Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Alasan yang Melemahkan Argumen Roy Suryo

17 Juni 2022   08:27 Diperbarui: 17 Juni 2022   08:32 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, lagi-lagi ini adalah asumsi, namun dasarnya cukup kuat untuk mengaitkan dengan apa yang ia lakukan dan nyatakan. Pernyataan mantan kader Demokrat ini adalah, meminta partai Demokrat lebih kenceng lagi mengritik pemerintah. Nah, adanya tiket naik Borobudur, seolah menjadi sarananya untuk melakukan kritik itu. Padahal ada yang mendasar antara tiket masuk dan naik Candi Borobudor, dan itu seolah disatukan. Apalagi dengan keberadaan meme itu, sudah parah offsidenya.

Kritik itu harus apalagi negeri demokrasi, agar tidak menjadi tiran dan otoriter, namun perlu juga ingat etika dan kepatutan dalam melakukan kritik. Apalagi malah ada data yang tidak sepenuhnya tepat. Mantan pejabat tinggi lagi. Konsenkuensi logis memang menjadi pejabat tidak sama dengan aktivis dan rakyat biasa. Mungkin Roy Suryo lupa itu.

Kelima, unggahan berikutnya, usai tayangan yang kontroversial jadi viral, ini yang seharusnya lebih dulu ia unggah. Mengapa? Kata-katanya yang mengatakan mau memberikan info yang benar itu jelas, ia menyajikan link pihak-pihak yang membuat dan menyebarkan meme stupa itu.

Karena ia menggungah lebih dulu dengan narasi yang sudah dibahas di point pertama, jelas argumennya yang menyatakan ia hanya mau memberikan pengetahuan benar pada publik gugur. Kecuali unggahan yang   ini terlebih dahulu.

Pepatah yang mengatakan nasi telah menjadi bubur layak deh disematkan pada laku Roy Suryo ini. Bagaiman ia   mau berdalih seperti apapun susah untuk mampu berkelit. Karena fakta dan tulisan itu sudah tersaji. Rekam jejaknya mendukung apa yang ia lakukan di awal, bukan yang terjadi kemudian. Mau dihapus ataupun tidak, ini soal dunia digital yang sudah pasti akan ada yang merekamnya terlebih dahulu.

Jari-jari tangan itu sangat cepat bergerak. Nah, perlu kesadaran untuk berpikir dulu, apakah ini benar, tepat, akan menjadi polemik atau tidak. Berbeda dengan rakyat biasa, atau aktivis yang memang hidupnya diri ketenaran.  Benar atau salah itu belakangan dan yang penting viral dulu.  Tokoh, mantan pejabat itu memang tidak mudah. Perlu melakukan cek dan ricek tidak semudah jadi orang biasa

Sikap bertanggung jawab itu tidak mudah. Permintaan maaf dan meterai itu memperlihatkan bagaimana ngeles itu menjadi jalan ninja untuk lepas dari tanggung jawab.  Merasa baik-baik saja, apalagi jika itu kog kemudian terulang lagi dan lagi. Artinya permintaan maaf itu hanya lamis, sekadar basa-basi agar  tidak lagi dikejar-kejar netizen.

Salah satu keberanian bertanggung jawab adalah tidak menyeret apalagi malah menuding pihak lain sebagai pelaku lebih buruk. Berani mengakui kesalahan, kekeliruan, bukan mencari pembenar dengan kesalahan pihak lain.

Pendidikan tidak menjadi satu-satunya patokan perilaku bijaksana. Pun religiusitas. Apa yang terpenting adalah bagaimana sikap bijak itu perlu dipupuk terus menerus setiap waktu. Apa yang akan keluar, menjadi baik atau buruk itu sudah akan spontan. Jadi tidak perlu lagi ngeles, membela diri, dan juga malah menyalahkan pihak lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun