Mereka sangat paham, bahwa masyarakat negeri ini masih suka baca judul dan tidak peduli isi. Berpolemik asal dikaitkan dengan agama, langsung meradang dan merasa benar. Ini masalah yang susah tuntas, karena keadaan enak dan nyaman bagi banyak pihak, termasuk pemuka agamanya yang sudah seharusnya meredam dan memelekkan pemikiran jemaatnya.
Literasi digital yang dikehendaki Johnny Plate selaku Menkominfo bisa kandas, jika mereka dibiarkan terus demikian. Apalagi mencampuradukan terminologi politik dan agama. Tindakan serba repot, karena pada sisi lain, mereka akan menggoreng dengan isu antiagama tertentu ketika mereka terkena tindakan tegas.
Simalakama menghadapi kelompok ini. Tegas katanya otoriter, dilembutin ngelunjak. Jagad digital suka atau tidak dikuasai mereka. Meskipun pada faktualisasinya tidak sama. Konkret pemilu 2019, suara riuh rendah di sosmed dan dunia digital tidak sama dengan kenyataan waktu pencoblosan.
Kominfo memang sudah bertindak banyak untuk mengatasi masalah-masalah ini. Terorisme dan  pornoaksi sudah bagus. Sayang memang di ranah kebencian ini menjadi lemah. Sangat mungkin karena kepentingan dan juga bersinggungan dengan agama. Apalagi pelakunya banyak dengan label agama yang sangat sensitif.
Sayang sekali gelaran DEWG sebagai salah satu rangkaian acara G20 kalah gaungnya. Johnny Plate dalam pembukaan ajang DEWG pada 15 Maret 22 mengatakan prasyarat tramnsformasi digital merupakan hal penting bagi bangsa ini. Â Acara yang akan berlangsung cukup panjang, hingga September ini sebenarnya panggung bagi bangsa Indonesia untuk sejajar dengan negara mau di dunia.
Johnny Plate mengaku bangga melihat transformasi digital negeri ini, di tengah pandemi dapat tumbuh dan mekar dengan tidak padam. Salah satu indokatornya adalah lahirnya star up baru di dalam kondisi yang tidak mudah ini.
Media, terutama media sosial jelas enggan mewartakan gelaran DEWG ini, karena sangat tidak sensi. Lebih menjual persoalan polemik IKN terutama yang terbaru soal ritualnya. Politikus, akademisi yang berkutat pada literasi mereka, apalagi kepala daerah. Mereka berlomba-lomba tampil. Media dengan suka rela mengusung ini.
Kepercayaan dunia akan kemampuan Indonesia itu sangat tidak menjual. Prestasi itu bagi publik negeri ini percuma. Hati-hati ini bisa membuat frustasi. Ingat Magnis Suseno mengatakan, juga Buya Syafie senada, kejabatan itu karena orang baik diam, jenuh dengan menyebarkan khabar baik yang tidak akan didengar, tentu membuat orang bisa patah arang.
Harapan tetap kudu didengungkan, bahwa kebaikan, prestasi, capaian, itu termasuk DEWG dan juga Presidensi G-20. Suka atau tidak, ini fakta baru pertama kali.
Terima kasih    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H