Penemuan Jenderal Dudung Abdurachman ini Lebih dari Sekadar Tuhannya Orang Arab
Jenderal Dudung seolah menjadi musuh kelompok tertentu, usai berani menggasak baliho ormas yang sudah terlarang. Mereka marah, karena sedang mau menapaki kejayaan kembali, eh malah ada bintang dua yang merusak rencana itu semua.
Naik menjadi bintang tiga, diisukan menghilangkan patung Soeharto di markas Kostrad, dengan embel-embel lagi-lagi PKI, karena patung "pembasmi" PKI kog dihilangkan. Narasi yang mengembuskan ya itu lagi- itu lagi.
Naik bintang empat, mengatakan, bahwa Nusantara, Indonesia itu berbeda dengan Arab, beragama dengan cara dan khas bumi pertiwi, dengan adanya bahasa dan budaya setempat. Digoreng bahwa Dudung menistakan agama. Menistakan Tuhan.
Lagi-lagi yang ramai yang itu lagi- itu lagi. Malahan ada yang lebih menghina sebenarnya, ketika orang tersebut mengatakan, bahwa nenek moyangnyalah yang mengajari orang Nusantara hidup seperti sekarang.Â
Dulu, katanya hidup di gua dan bergelantungan pohon. Entah menguap ke mana kasus itu. Palingan juga minta maaf dan meterai, berbeda dengan Jenderal Dudung yang masih dilaporkan ke Pomad.
Cukup aneh dan lucu, apapun kuasa Pomad, toh bintangnya kalah banyak dengan KSAD. Apa iya akan berani bertindak gegabah, apalagi alasan dan kasusnya sangat sumir. Palingan akan hadir narasi baru, dengan mengatakan, Pomad takut pada atasan, kekuasaan menang atas kebenaran, dan narasi sejenis yang akan didengung-dengungkan.
Padahal, ada juga tokoh lain yang terlebih dahulu menggunakan, Tuhan itu bukan orang Arab. Mau secara apapun benar kog, kecuali yang mengatakan Dudung, Jokowi, atau Ahok. Pasti akan menjadi kasus kalau demikian.
Di tengah pelaporan yang menjadi aneh, karena si pelapor dipanggil untuk didengar keterangannya tidak berani datang, eh Jenderal Dudung malah membuat berita yang jauh lebih penting. Bagaimana ia memerintahkan Pangdam untuk mencopot komandan yang pelit dan menyengsarakan anak buah.
Pengalaman yang ia temukan di dalam kunjungannya ada prajurit yang harus membeli seragam seharga Rp.400.000,00. Ini seandainya saja, bukan tudingan apalagi tuduhan.
Seandainya, satu kali menjabat, contoh batalyon, sejumpah 1000 prajurit, jika komandan mendapatkan seratus ribu rupiah saja, sudah memperoleh seratus juta, sekali, per seragam, belum lagi yang lain-lainnya, sangat mungkin bisa saja mendapatkan "upeti", kenaikan pangkat, penugasan, dan seterusnya.
Hal yang sangat mungkin terjadi, melihat pembelian seragam yang seharusnya jatah. Sudah dianggarkan oleh negara. Timbul pertanyaan lanjutan, jangan-jangan itu "setoran" berjenjang atau bertingkat, yang sudah menjadi kebiasaan selama ini. Jika demikian kan miris. Â Â Â
Seragam saja diperjualbelikan, memang wajar sih jika jatahnya tidak nyaman dipakai kemudian membeli di koperasi. Hal yang biasa. Namun, konteks ini tentu berbeda. Bisa jadi peluru bahkan senjata pun dijual kepada pelaku kriminal, atau bahkan KKB sebagaimana di Papua.
Ini soal integritas. Setuju dengan pernyataan KSAD, sepinter apapun, kalau pelit dan menyengsarakan prajurit copot. Perintah yang sangat tegas.
Pantesan saja banyak banget narasi yang maunya menjatuhkan Jenderal Dudung. Ini tidak semata karena melawan intoleran dan ormas radikal, namun juga dari dalam banyak kemungkinan yang panas. Mereka ini tentu saja tidak akan tinggal diam. Mendompleng dalam gerbong yang sudah mengerak memusuhi Dudung sejak peristiwa baliho dan memorakporandakan Petamburan.
Ahok dari dunia militer datang. Wajar resistensi itu terjadi. kenyamanan selama ini terpenggal, terganggu, dan menjadi bencana.Â
Keberadaan birokrasi mau sipil atau militer cenderung sama. Uang dan uang dalam seluruh urusan. Ketika mau dipangkas, yang sudah basa investasi banyak untuk segala urusan, saatnya memanen, eh malah berganti. Tentu saja mereka meradang dan ngamuk.
Militer tentu saja tidak akan bisa segalak dan searogan sipil dalam membantah atasan. Sikap mbalelonya tidak akan sebebas sipil.Â
Nah, Â mereka bisa jadi akan menggunakan ormas terlarang yang sudah berkamuflase dalam segala isu, bersama barisan sakit hatii pemuja kekuasaan. Momentum yang sangat tepat.
Kesejahteraan prajurit itu penting. Bagaimana negara hadir, namun digerogoti oleh raja-raja kecil yang suka upeti, ini yang repot. Seolah hal yang biasa dan sudah menjadi tradisi yang seolah tidak akan mungkin berubah.
Jauh lebih penting dari pada kasus Tuhannya Arab atau bukan. Jelas ini ranah yang dipolitisasi. Bagaimana ada atasan yang tega mengutip uang dari anak buah. Mereka ini jelas hanya berpikir gaya hidup bukan untuk berpikir yang lain.
Hadirnya komandan yang mengayomi, kesejahteraan terjamin susah bagi kelompok yang biasa memanfaatkan kesenjangan dan kemiskinan sebagai sarana memberikan mimpi-mimpi surga menjadi eksis.
Pendekatan yang tepat sasaran dari Jenderal Dudung. Khlapah akan menjanjikan keadilan, kesamaan, kesejahteraan, dan membakar sakit hati prajurit yang  mendapatkan atau merasakan ketidakadilan.
Pendekatan berbeda. Profesional dan pengabdian, bukan malah molitik sebagaimana seniornya yang merasa presiden dan masalah jual beli pakaian saja tidak paham. Hal yang kelihatannya sepele namun mendasar. Kesejahteraan itu penting.
Maju terus Jenderal Dudung, perbuatan baik akan mendapatkan tentangan karena kepentingan yang selama ini sudah menaguk banyak keuntungan. Tipe pekerja melengkapi kinerja Presiden Jokowi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H