Bersama Jokowi Optimis, Bukan Pesimis
Hari-hari ini narasi pesimis sedang ada yang mendengungkannya. Sederhana sebenarnya siapa di balik itu semua. Dengan sangat telanjang terlihat kog siapa-siapa saja yang menjadi penulis skenario dan memiliki kepentingan di sana.
Beberapa pihak bisa disebut, politikus yang tidak tahan untuk ngebet menjabat, padahal dalam pemilu tidak bisa apa-apa. Mengaku demokratis tetapi abai falsafah dasar demokrasi, adanya tempo, waktu pemilu yang sudah jelas.
Masa lalu yang terusik keberadaan dan kepentingannya. Ini banyak warna dan jenis. Bisa ormas terlarang, dapat pula pejabat yang tidak lagi mendapatkan bagian kue yang lezat dan mereka sudah kadung suka cita dengan itu.
Terbaru jelas mengenai vaksin. Susah melihat ini tanpa adanya intervensi kepentingan, mau bisnis, politis, dan juga agama yang masuk. Animo masyarakat demikian tinggi. Namun akses ke sana sangat susah. Dugaan bahwa adanya upaya "sabotase", cukup kuat.
Lanjutannya adalah narasi pemerintah gagal dan kudu mundur. Â Logika kelewatan yang dibangun, karena memang ngbet berkuasa.
Liburan hari raya jauh-jauh hari sudah dinyatakan dilarang. Pihak-pihak yang itu-itu lagi sudah memprovokasi dengan dalih, agama, budaya, dan sosiologis. Pembongkaran paksa penyekatan dilaporkan dari mana-mana. Apakah ini spontanitas warga? Tidak.
Ini dampaknya hingga saat ini. Tiba-tiba oksigen hilang dan menjadi bahan demikian langka. Padahal pandemi sudah setahun lebih, mosok  tiba-tiba baru perlu oksigen, ini jelas bukan spontan atau paniknya massa. Ada yang menyekenariokan.
Pun obat yang menjadi polemik di antara lembaga yang ada. Narasi lanjutan pihak-pihak yang sakit hati makin menjadi. Seolah-olah pemerintah gagal dan mundur.
Jokowi memang bukan malaikat. Sangat tidak sempurna. Tetapi melihat perjalanan dunia menghadapi pandemi ini, toh bisa dikata bahwa pilihan-pilihan Jokowi sebenarnya tepat. Masalah narasi sebaliknya oleh pihak itu lagi itu lagi yang membuat keadaan memburuk.
Mengaa optimis bersama Jokowi?