Pelarangan Mudik dan Pandemi, Belajar dari India
Pandemi sudah lebih dari setahun. Masih saja orang berlaku yang sama. Makin hari makin terlihat lebih abai. Kematian dan keberadaan orang terdampak memang tidak membuat orang jerih. Jalanan mulai seperti tidak ada apa-apa.
Laporan dari banyak daerah kembali meningkat dengan berbagai sebab. Ada yang dikarenakan piknik bersama, ada karena kerumunan layat, dan sebagainya. Kondisi di mana tanpa masker, berkerumun, dan abai protokol kesehatan. Melayat, piknik, atau aktivitas lain itu sebenarnya boleh-boleh saja, asal masker, jaga jarak, cuci tangan, itu tetap diingat dan dilakukan.
Kondisi yang ada membuat sekolah yang sudah mulai uji coba harus kembali tutup. Susah, ketika pandemi namun juga didekati dengan politisasi dan permainan lagi-lagi agamis yang kadang membuat miris.
Mudik itu tradisi budaya, sosial, dan antropologis, sama sekali bukan agamis, tidak berkaitan dengan sebuah dogma ajaran agama. Artinya, tidak mudik juga tidak mengurangi keberadaan Ramadan dan Idul Fitri. Berbeda, momen dan kebersamaannya saja yang memang tepat, jika kondisi aman dan bukan pandemi.
Salah satu gubernur, mengatakan, biar rindu itu tersalurkan, silakan bersikap demikian, jika memang kawasannya itu normal, tanpa ada angka positif sama sekali. Plus siap bertanggung jawab jika ada ledakan. Ini bukan soal berfikir negatif, namun antipasi. Kondisi masih belum gterkontrol. Bisa saja hari ini baik-baik saja, esok sudah kembali menggila. Ini yang disebut antisipasi.
Belajar dari Brasil dan India.
Negara-negara yang secara budaya, pola pikir, dan aktivitas relatif sama. Mereka, dua negara ini sedang "panen", ledakan yang lebih menakutkan dari pada pada awal atau setahun lalu. Kondisi yang diantisipasi pemerintah. Sangat wajar, benar kata Menag, pemerintah menjaga warganya.
Soal rindu, toh tidak juga menjadi polemik. Wong nyatanya, banyak orang juga tidak pulang, meskipun anak atau orang tuanya sudah memohon-mohon. Hal yang tidak cukup menjadi pembenar melawan kepentingan global, menghentikan penyebaran.
Yang dilarang itu bukan mudiknya, namun pergerakan massa antardaerah. Aktivitas masa hari raya yang biasa berkumpul, bertamu, dan jaga jarak yang susah diantisipasi. Padahal keberadaan kerumunan, aktivitas dan mobilisasi, itu yang sering abai akan protokol kesehatan. Masker, tetap jabat tangan, dan berkerumun.
Takbir keliling juga tidak dilarang, namun mengantisipasi timbulnya kerumunan. Jadi lihatlah esensinya, jangan main narasi dipotong kompas, demi kepentingan politis ideologis. Penyakit sampingan pandemi itu masih sama saja setahun sudah berlalu, lebih bahkan.