Akankah Gereja Katolik Mengalami Revolusi Kedua?
Hampir dua tahun lalu, saya membaca buku Musa dari Jerman, isi buku itu mengenai Protestanisme dan kiprah Marthin Luther yang awalnya adalah imam Gereja Katolik. Berbeda dengan Hans Kung, tetangganya, dan beda era serta zaman.
Hans Kung dihukum dengan pencabutan hak mengajarnya ia tetap setia sebagai imam Gereja Katolik hingga akhir hayatnya. Tentu tidak hendak membandingkan dengan Martin Luther, itu pilihan bebas dan konsekuensi, bukan soal mana yang lebih baik atau buruk. Biar Sang Pencipta yang menilai mereka.
Usai Hans Kung meninggal, eh malah mmbaca ulasan, di mana Gereja Jerman, lagi-lagi Jerman, menyoal keberadaan Gereja Katolik. Sangat mungkin terjadi keadaaan sebagaimana lahirnya Protestanisme, di mana merekaa dulu juga mengritik gaya hidup elit Roma yang dinilai melenceng dari gaya hidup yang semestinya.
Hal yang awalnya adalah kritik ke dalam institusi gerejani, oleh anggota gereja, yang berujung pada perpisahan yang sangat memedihkan. Upaya rekonsiliasi yang belum cukup memberikan dampak luas, eh kini terdengar lagi.
Protes atas reaksi, pilihan, dan keputusan Roma, Vatikan, yang ternyata bagi banyak elit gereja Jerman menilai tidak seperti yang mereka inginkan. Ada beberapa isu yang menjadi ganjalan, dan itu mereka nyatakan dalam peringatan 500 Tahun Reformasi. Menempelkan tulisan-tulisan dari gugatan Martin Luther di pintu gereja mereka.
Uskup hingga pastor biasa melakukan aksi itu. Protes pada  Gereja Roma yang masih bersikukuh tidak menahbiskan perempuan, dan penerimaan legal pernikahan sejenis. Sepanjang saya tidak salah  menangkap dalam artikel yang cukup panjang itu.
Berbeda dengan gerakan lebih lima abad lalu adalah sebagai berikut;
Pertama, dulu yang menjadi ini masalah adalah keberadaan gaya hidup dan cara berperilaku paus dan jajarannya jauh dari apa yang semestinya. Artinya, jelas, bukan soalhal yang dogmatis. Meskipun ujungnya ketika terjadi perpisahan, hal yang dogmatis yang terbawa.
Contoh penjualan surat penghapusan dosa. Ini yang menjadi persoalan adalah penjualannya, bukan soal pengakuan dosa seharusnya. Nah ketika berpisah, pengakuan dosa tidak ada, langsung kepada Sang Pencipta. Tidak masalah, toh itu buah pikir.
Kedua, dulu masih banyak keterbatasan. Martin yang dipanggil Vatikan, sangat mungkin salah sangka karena kendala, bahasa, jarak, dan sebagainya. Ia malah merobek undangan klarifikasi itu. Kini, semua bisa teratasi dan terjembatani.