Belajar dari Mendiang  Pangeran Philips
RIP Pangeran
Duka mendalam bagi Ratu Elizabeth tentu, 74 tahun hidup bersama. Dalam usai menjelang seabad sang suami, mangkat. Suami dari ratu terbesar di jagad, paling panjang pula. Namun, sosok yang biasa di depan, memimpin, dan menjadi kepala, karena status dari sang istri, berjalanpun ia ada di sedikit belakang.
Hal yang tidak mudah, tentu saja bagi sikap laki-laki, yang biasa sangat kental kelaki-lakian, dan enggan kalah, apalagi oleh istri dan perempuan. Â Ini soal psikologis, dan juga sosiologis budaya. Patriarkhi yang memang masih demikian kental, hingga hari ini.
Tetapi almarhum berbeda. Sangat mungkin Pangran Charles puteranya saja tidak mampu. Konon sedikit banyak, kisruhnya pernikahan dengan almarhum Puteri Diana juga karena "kalah" pamor. Tentu saja ini sebatas rumor, berbeda dengan si bapak yang mampu menjaga dan tahu diri dengan baik. Â Ia menikah dengan siapa.
Publik era 90-an ke bawah tentu masih ingat, paling tidak jadi teringat kembali, ketika masa itu anak-anak mereka, satu demi satu menjadi pusat pemberitaan berkaitan dengan keluarga mereka. Ratu sebagai pemimpin tentu saja fokus pada tugas kenegaraan. Â Peran domestik akhirnya tentu saja ada di tangan Pangeran Philips.
Sampai pemakamanpun ia menjadi pribadi "di belakang, balik layar", tanpa prosesi kerajaan, tentu karena pandemi. Berbeda jauh dengan "maraknya" pemakaman mantan menantu mereka. Begitu gegap gempita, bahkan di Indonesia pun ada siaran langsung televisi. Bisa dibayangkan betapa besarnya perhatian publik kala itu. Mantan  puteri padahal. Tentu saja alasan lain, bukan sekadar mantan puteri, namun ibu putera mahkota juga masih tersemat.
Laki-laki hebat ada di belakang ratu sejagad.
Sering terlontar bahwa di balik laki-laki hebat  ada perempuan kuat. Kini hal yang sama layak disematkan pada mendiang Pangeran Philips, ketika ia dengan setia, tabah lagi mendampingi Ratu Inggris. Ia ratu termasuk untuk negara-negara persemakmuran, hingga hari meninggalnya lho.
Jika pangeran sedikit saja berulang, hancur sudah reputasi Inggris dan Ratu Elisabet. Toh selama hampir tujuh dekade bisa mereka lampaui. Hebat.
Tahu diri dan tahu batas. Ini sebuah pembelajaran yang sangat tidak mudah. Mengalahkan diri karena menikah dengan ratu sejagad. Lha orang biasa saja ada yang gaya. Cek saja media sosial, bagaimana memberikan uang belanja lima puluh ribu rupiah untuk seminggu, namun  mengeluh ketika lauknya dirasa tidak enak.  Padahal almarhum, jalan saja harus di belakang.