PDI-P Tegas Menanggapi Tempo
Tempo memberitakan, Moeldoko berjumpa  Megawati.  Tanggapan keras dan lugas disampaikan Sekjend Hasto Kristianto. Ada beberapa butir sebagai tanggapan dan protes keras. Namun dua saja yang akan dan hendak saya cermati.
Pertama, soal kader partai tidak boleh intervensi dan ikut campur partai lain. Hal yang lumrah, wajar, dan normal. Apalagi jika dikaitkan dengan pengalaman PDI-Perjuangan yang lahir dengan darah dan sejarah panjang perselisihan.
Intervensi pihak luar sangat terasa dan kuat. Kondisi negara dan sistem demokrasi jelas berbeda. Pengalaman pahit, susah untuk berubah jadi pelaku.
Rekam jejak jauh dari kebiasaan dan perilaku mereka. Apalagi sudah pernah menjadi korban yang itu pasti memedihkan. Susah mlihat mereka berbalik jadi pelaku.
Demokrat sudah tidak cukup signifikan. Lihat saja dalam pilpres kemarin mereka terlihat tidak ada dampaknya di mana-mana. Dicuekin kedua kubu. Buat apa dijadikan target oleh PDI-Perjuangan.
Kedua, sindiran telak mengenai dua sikap yang berbeda. Satu otoriternya Orba yang merujuk Pak Harto dengan represi atas PDI Megawati. Tentu ini adalah pengetahuan yang mendalam bagi kader aapalagi ketua umum PDI-P.
Politik korban dan pencitraan, mau menuding SBY sebagai tokohnya. Kali ini lugas juga PDI-Perjuangan bersikap. Memang sudah seharusnya demikian.
Tempo sudah berkali ulang memberitakan hal-hal yang kontroversial dengan data sangat meragukan. Mau koran atau majalah sama saja. Paling berlindung di balik narasumber tepercaya namun rahasia. Â Selanjutnya kebebasan bersuara dan kebebasan pers.
Protes keras itu mungkin bagi budaya Barat sangat serius. Tetapi jika di Indonesia, nampaknya belum ada dampaknya. Tidak akan dianggap sebagai hal yang serius.
Mirisnya adalah, ketika orang biasa membuat status via media sosial, berapa sih palingan yang mmebaca atau melihat? Paling puluhan, bisa kena UU ITE, eh media yang ngaco bisa puluhan juga yang membaca dan mengonsumsi paling-paling lari ke dewan pers, maaf, meterai, dan besok mengulangi lagi.