15 Menit Pertemuan Dua Maestro Politik Bangsa Ini
Amien Rais sjak 2019 berkehendak ketemu Jokowo. Ternyata hingga 21 baru terlaksana. Itu pun hanya 15 menit. Dulu dosen kalau mau diskusi sebelum praktek, gantian dengan kelompok lain biasanya minta waktu 10 menit. Bapak dosen itu merokok putih dulu. Teman yang perokok sudah hapal. Sebatang itu 10 menit.
Pertemuan yang dinanti dua tahun itu ternyata hanya selama 1.5 batang rokok putih. Â Toh itu bisa penting atau tidak. Namun fokus tulisan kali ini mau melihat, kedua tokoh politik ini sama-sama maestro dalam berpolitik. Kerennya, hampir selalu berseberangan. Seolah kutub magnet, ya wajar jika tidak pernah gathuk.
Partai Politik
Amien Rais pendiri, deklarator PAN, yang terdepak  oleh anak dan besannya. Pada pertengah bulan Ramadhan mendatang akan deklarasi partai baru. Pengalaman bnar soal partai dan tidak pernah baperan atau melapor ke sana ke mari.  Malah pengalaman dengan mendirikan yang baru.
Jokowi adalah kader biasa. Bukan deklarator, atau ketua umum. Hanya "petugas" biasa, kader tanpa jabatan.
Jokowi sekali nyalon jadi. Dua kali menjadi kandidat dan menang. Ini soal kehendak Semesta yang tidak bisa orang iri atau dengki. Sudah ada yang mengaturnya. Hanya menjalani laku yang telah tergariskan.
Amien Rais menjadi calon dan tidak menang. Toh ini juga bukan sembarangan. Penduduk bangsa ini 270 juta, toh tidak ada 20 yang berkesempatan menjadi calon dan mendapatkan suara bukan?
Konsep Pelanggaran HAM berat
Amien Rais mengklaim , kematian enam laskar FPI itu pelanggaran HAM berat. Ini adalah klaim, opini, dan pendapat Amien dkk demikian. Toh dijamin UU mengenai kebebasan berpendapat, dan itu dihargai betul oleh presiden. Maka ketika ada pernyataan dibunuh dengan keji, sederhana saja. Apa buktinya?
Jokowi jelas sebagai presiden memiliki instrumen yang lebih lengkap. Ini adalah amanat bangsa dan negara. Mana bukti kalau itu adalah penganiayaan dan pelanggaran HAM berat? Toh komnas HAM sudah merilis hasilnya.
Mana-mana yang masuk dalam pelanggaran HAM berat itu secara internasional ada. Nah apakah Amien Rais naif? Jelas tidak. Ini adalah pertemuan politik tingkat tinggi.
Apa yang terbaca adalah,
Pertama, Amien Rais itu lebih oposan dari pada Prabowo. Jauh lebih keras, dan kadang kasar Amien Rais dari pada Prabowo jika sudah mengomentari Jokowi. Nah bertemu Prabowo saja biasa. Ini ketemu Amien Rais. Berarti jauh lebih bernuansa politis pakai banget.
Kedua, ini lagi kisruh, saling sengkarut, dan ribut ala Demokrat. SBY dengan bahasa negasi menyoal Jokowi, namun menggunakan Moeldoko dan KSP. Semua juga paham yang dimaksud adalah Jokowi. Bertemu Amien Rais saja bisa, apalagi kalau SBY mau. Persoalan ada pada SBY.
Ketiga, Jokowi berlaku sebagai presiden. bisa memilah dan memilih. Jika ia baperan, paling diserahkan kepada Menkopolhukam saja sudah bagus. Atau Kapolri saja lebih dari cukup. Toh ia terima dengan baik. Apapun reputasi, perilaku Amien Rais dan kawan-kawan itu bukan yang utama bagi Jokowi.
Warga negara yang mau melapor, mengeluhkan, dan curhat mengenai sesuatu. Hal yang harus diterima oleh presiden.
Keempat. Pembelajaran malah oleh Jokowi yang muda, junior, di depan politikus-politikus kawakan, termasuk SBY, bagaimana bersikap sebagai pemimpin, bapak, itu bagi semua orang. Tidak hanya yang baik-baik saja yang diterima.
Kelima, politik itu berbeda pendapat biasa. Namun komunikasi, relasi, dan kesatuan sebagai sebuah bangsa itu harusnya tetap ada. Miris, selama ini cenderung  kalau berbeda itu pasti salah, bahkan menjadi musuh.
Keenam, Jokowi itu orang Solo, yang biasa bermain simbol. Apa artinya jelas dan gamblang. Pesan pada SBY dan juga bangsa ini. Komunikasi itu penting, bahkan dengan  orang yang berseberangan sekalipun. Apalagi dengan mantan presiden yang digantikan.
Tanpa ini, Jokowi bisa mendiamkan saja. Toh persoalan FPI itu sudah selesai. Makanya hanya 15 menit. Itu artinya sama sekali tidak mendesak, apalagi penting. Semua sudah dilakukan sesuai prosedur, kepolisian juga tidak sendirian. Ada pihak eksternal yang ikut terlibat.
Jika tidak percaya polisi, lha Komnas HAM juga tidak percaya? Jika hanya percaya opini sendiri, ya sudah tidak usah hidup bernegara. Kan aneh dan lucu, semua pihak yang mengatakan A ada yang mengatakan B sendiri dan kemudian mengatakan yang percaya A salah.
Padahal instrumen yang dimiliki pihak yang mengatakan A lebih lengkap, Â luas, dan menyeleuruh. Penganut yang mengatakan B selama ini rekam jejaknya juga tidak jelas dan relevan.
Nah dengan demikian, malah menunjukkan bagaimana kelas kedua maestro itu di dalam kancah berbangsa dan bernegara. Keduanya memberikan warna yang berbeda. Toh itu kekayaan bangsa dan negara ini. Mana lebih baik atau buruk silakan terjemahkan dan maknai sendiri.
Keduanya juga menyumbangkan jasa pada porsi masing-masing. Kembali kepada publik untuk memberikan penilaian dan penghargaan seperti apa.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H