Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

7 Irasionalnya SBY dan Jajarannya Menyikapi KLB

8 Maret 2021   15:51 Diperbarui: 8 Maret 2021   16:20 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

7 Irasionalnya SBY dan Jajaran Menyikapi KLB

KLB sejatinya diatur dalam AD-ART. Jika memang tidak sesuai atau abal-abal, ya sudah laporkan saja ke pihak kepolisan atau pengadilan. Itu namanya demokratis. Lha entah apa yang ada dalam benak Pak SBY dan jajaran malah mengedepankan narasi, opini, bahkan agitasi. Aroma kekerasan dan bahkan sudah juga aksi demikian.

Padahal apa yang terjadi pada Demokrat ini bukan satu-satunya dan yang pertama. Sudah banyak partai dan bahkan negara yang mengalami. Tetapi yang heboh dan berlebihan kog tampaknya hanya Demokrat, khususnya Cikeas. Myanmar saja yang sampai korban jiwa juga tidak sesentimentil ini. rasionalitas masih terjaga.

Atau benar kata seorang kader demokrat yang menyatakan ini tanda-tanda kepanikan? Bisa saja dan sangat mungkin demikian. namanya saja demokrat, demokrasi menjadi pilar. Lha ketika anak, bapak, adik ada dalam satu kesatuan partai dan itu menentukan keseluruhan partai, apa ya masih demokratis?

Beberapa hal yang irasional dan menafikan demokrasi;

Pertama, Andi Arief yang mengatakan, jangan salahkan jika ada pertumpahan darah. Ini merespon atas diamnya Menkopolhukam. Hal yang miris dilakukan eksponen 98 yang katanya menegakkan reformasi dan lepas dari budaya KKN. Ancam mengancam salah satunya adalah kebiasaan Orba yang mau ditinggalkan. Eh malah dipakai sendiri.

Ataukah ini memang jalan kerja mereka di dalam menyelesaikan masalah? Mendapatkan segala sesuatu dengan kekuatan massa atau otot. Lha mana demokratnya jika demikian? Tidak perlu pemilu saja, tetapi kerahkan massa dan selesai semuanya. Jadi bertanya, jangan-jangan demo selama pemerintahan Jokowi mereka yang buat, dulu sepi kog.

Kedua, ancaman santet untuk Moeldoko. Ingat ini bukan soal pembelaan pada Moeldoko. Tetapi mengancam di muka umum, pejabat, kepala daerah pula, pada kepala kantor kepresidenan.  Kesalahan itu diluruskan, bukan model ancam mengancam. Kan ngeri.

Menghadapi orang pusat saja yang dinilai melawan apa yang ia nilai benar seperti itu. Bisa membayangkan bagaimana jika warga atau stafnya menolak kebijakannya? Ngeri, perempuan pula. Jika laki-laki, emosional dan keceplosan begitu wajar. Lha ini perempuan? Tanya lagi, jangan-jangan cara ini juga dipakai waktu kampanye, awas tidak milih, tak santet, atau tidak dapat bantuan. Kan repot.

Ketiga, kader dan mirisnya AHY. Menorehkan cap jempol darah. Apanya sih yang mau disampaikan? Jika demo dengan menjahit mulut, mogak makan, dan cap darah itu ketika tidak ada saluran resmi yang bisa diajak kerja sama. Lha ini, belum juga ada keputusan apa-apa, belum ada reaksi dan aksi dari pemerintah.

Menkopolhukam bahkan masih menyatakan kepemimpinan Mas AHY putera SBY masih sah. Ya iya, kan hasil KLB belum dilaporkan ke menteri. Gege mangsa. Belum saatnya, sudah banyak ulah yang abai logika. Sabar dulu, ketika sudah diputuskan Moeldoko diakui, ngamuklah boleh. Lha wong belum kog, sudah aneh-aneh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun