Kisruh Demokrat baru memasuki babak baru. Sebulan penuh baru perang  opini. Antara pendukung dan yang tidak pada kepempinan AHY. Masing-masing menjual opini dan narasi mengenai keberadaan Demokrat.
Pendukung AHY menyatakan, sah kepemimpinan AHY tidak perlu diutak-atik. Sebaliknya, kubu yang kontra menilai tidak sah, banyak masalah, dan suara pemilih yang terus terusan turun menjadi catatan yang perlu diakhiri. Saling menyajikan data dan argumen yang semasuk akalmungkin.
Kemarin, 5 Maret toh KLB sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur, tidak lagi bisa menjadi nasi goreng, sebagaimana beberapa waktu lalu mereka mengolok kondisi negara. Â Apa yang bisa dibuat, ketika telah menjadi bubur begini?
Mrengek terus, mencari kambing hitam, menyerang Jokowi dengan berbagai-bagai narasi. Â Jika benar demikian, jangan salahkan ketika MenkumHAM ikut jengah dan dengan sadis ketok palu dan menyetujui KLB kubu Moeldoko.
Mengapa? Menteri membela Jokowi karena jengkel direcokin terus. Demokrat sudah sekian lama "rewel", saatnya "membalas". Hal yang sangat logis bukan? Siapa yang salah? Ya salah sendiri karena ribet dan ribut tanpa tahu aturan dan batas.
Sesuai dengan dengungan mereka. Ingat isu kudeta ini awalnya sepi. Moeldoko mengaku tidak tahu menahu dan ia pikir sudah selesai. Malah kubu AHY yang ribut terus. Wajar ketika Semesta mengabulkan kehendak mereka. Kudeta terjadi.
Eh kini malah menyoal kementrian. Sudah ada sebentuk "ancaman" dan keinginan. Padahal waktu itu KLB belum terjadi. Lagi-lagi mereka lah yang mengundang keadaan itu terjadi. Jika benar KemenkumHAM menyatakan legal kepengurusan kubu Moeldoko, ya sudah sesuai dengan apa yang mereka minta.
Pengulangan menyoal Jokowi yang katanya terlibat, eh ganti tidak tahu apa-apa. Kemudian diulang lagi, mendiamkan, narasi begitu terus. Jika presiden bersikap, bisa dipastikan akan ada opini, presiden berpihak. Mereka menciptakan simalakama pihak lain, malah menjebak sendiri. Lagi dan lagi ini adalah jawaban atas apa yang mereka yakini.
Bisa juga pihak kementrian hanya menggantung. Keduanya tersandera untuk bersikap. Mereka kacau sendiri dengan ketidakjelasan itu. Sangat mungkin terjadi. Namanya juga politik, sebuah permainan.
Kedua, akan ke pengadilan. Menambah masalah dan musuh. Narasi yang akan berkembang masih sama saja. Merasa diri paling benar dan pihak lain pasti salah dan buruk sepenuhnya. Golkar, PKB, dan partai lain pernah mengalami hal yang sama. Melelahkan dan bising.