Kelima, ekspektasi yang terlalu tinggi. Penonton, masyarakat, selalu saja gagap melihat fenomena yang ada. Kecewa sangat besar, ketika tokoh idolanya ternyata membuat pilihan yang tidak disukai.
Lihat apa yang terjadi pada Mario Teguh, Â Susi Pudjiastuti, dan ketika Ahok bercerai. Hal-hal yang biasa sebenarnya, namun menjadi konsumsi publik dengan masif, kecewa amat sangat, dan berkepanjangan. Padahal sebenarnya normal-normal saja.
Keenam. Kagum berlebihan. Kagum boleh, tapi jangan berlebihan, dan juga bedakan, ketika ia dikagumi sebagai apa, jangan kemudian maunya semua hal harus ideal, sempurna, dan menyenangkan, semua sesuai dengan keinginan kita.
Lha Tuhan saja kadang  masih kita anggap mengecewakan apalagi manusia.  Hal yang sangat naif sebenarnya ketika menginginkan insan tapi sempurna.
Ketujuh. Manusia tidak ada yang sempurna. Nah ketika melihat yang tidak sempurna ini, jangan kemudian merasa dunia sudah runtuh. Lha itu tandanya manusiawi. Masih manusia. Tidak ada yang sempurna di tengah dunia ini.
Justru kita menjadi keping kesempurnaan bagi yang lain. Kita ini bertugas di tengah dunia untuk melengkapi kelemahan dan kekurangan pihak lain. Di sinilah peran manusiawi itu mendapatkan nilai pentingnya.
Pilihan hidup seseorang, di balik apa yang tampak kita tidak tahu. Jauh lebih penting adalah pelajaran. Â Menilai, menghakimi, lah belum tentu kita lebih baik. Tidak berarti bahwa karena belum tentu lebih baik membiarkan yang jahat. Tidak sama sekali. Tetapi, ranah kita, kapasitas kita, dan lebih baik kog evaluasi diri, refleksi, dan mawas diri, jangan sampai kita membuat orang lain terluka.
Kasus demikian itu banyak korban, kadang yang sedang bahagia itu pun aslinya menderita, lihat saja penghakiman seperti itu, apa iya bisa bahagia secara hakiki. Apalagi nantinya juga akan diungkit lagi dan lagi. Labeling yang mengerikan.
Saatnya berhenti, dan menyadari, bahwa semua bisa mengalami. Media terutama untuk bisa menyajikan tontonan dan tuntunan, bukan semata asal laris manis.
Terima kasih dan salam