Kini, kondisi Demokrat itu sangat tidak diperhitungkan. Pemilih enggan karena keberadaan AHY yang selalu dalam bayang-bayang SBY. Perlu dilihat, apa perkataan mereka berdua akan selalu diingatkan kepada Hambalang, katakan tidak pada korupsi, dan masa lalu yang belepotan.
Upaya mau menaikan posisi tawar selalu terbentur pada masa lalu. Belum ada usaha untuk melepaskan belenggu itu dengan cukup elegan yang bisa meyakinkan publik. Terlalu jauh sebenarnya jika bicara pilpres. Lebih realitis adalah pilkada DKI dulu.
Kendala psikologis pasti, karena pernah kalah, sebenarnya hal yang lumrah saja kalah dalam kontestasi politik. Jauh lebih keren jika berani mencoba lagi. Apa salahnya bukan? Masih ada waktu menjalin komunikasi pada pihak siapa saja yang kiranya mau memberikan satu slot cagub kepada AHY.
Ini modal penting, jangan sampai seperti pilpres 2019, proposal ditolak di mana-mana dan kemudian malah hanya menjadi penonton. Di luar arena dengan main dua kaki yang begitu vulgar, ini tentu saja akan dlihat oleh partai politik lain untuk berjaga-jaga jangan sampai kena separo kaki seperti yang sudah-sudah.
Sukses membangun Jakrta dengan gilang gemilang kurang lebih dua tahun, tentu jauh lebih realitis dari pada hubungan dengan Demokrat  Amerika Serikat. Ada dua pekerjaan besar dengan gagasan ini, yaitu mengajukan pilkada serentak 24 ke posisi semula di 22. Sangat tidak mudah.
Jika sudah berhasil, membangu relasi dan kemudian koalisi untuk bisa mendapatkan peluang bisa ikut pemilihan. Ingat suara Demokrat tidak cukup besar untuk bisa mendapatkan sekadar lirikan dari partai lain. Pekerjan besar dan berat namun ya harus dilakukan, jika memang mau maju pada pilpres. Tidak realistis bicara demokrat Amerika sebagai tiket emas menuju presiden 24.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H