Seminggu lalu nama Komjend Listyo Sigit diajukan kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Jauh sebelum itu beredar analisis-analisis mengenai siapa yang akan menjadi pengganti Jenderal Idam Aziz. Persoalan usia, angkatan, dan senioritas menjadi bahan analisis berbagai pihak. Ada pula masukan mengenai agama, dan banyak pihak mengiyakan, akan susah mengenai hal ini.
Narasi agama si calon tidak demikian masif. Hanya satu pihak atau faksi, bukan sebuah lembaga. Hal yang normal di tengah arus demokrasi, plus kalangan mabok agama. Toh pengalaman Sigit mengenai hal yang sama sudah ada. Sikapnya tepat dan itu menjadi kekuatannya melangkah pada posisi yang lebih besar.
Dewan secara umum, meskipun pandangan personal dan bukan resmi dalam paripurna, toh sedikit banyak memberikan gambaran akan mulus, tanpa ada masalah yang berarti. Komposisi partai pendukung pemerintah, toh sampai saat ini solid, tidak ada nada sumbang, hampir sama sekali. Ala Golkar atau Nasdem yang kadang genit juga diam. PDI-P model ini juga lebih tenang dan wajar. Partai lain relatif biasa.
Oposan pun demikian. paling biasa main dua kaki itu PAN. Cenderung aman dan tidak banyak mempersoalan pencalonan Kapolri. Entah karena lepas dari Amien Rais, atau memang demikian adanya. Menerima dengan lumrah, biasa, tanpa mempersoalkan aneh-aneh lagi. Normatif, berbicara rekam jejak, pengalaman, dan hal yang sangat umum.
Demokrat,, Ketua Umum AHY sudah menyatakan, bahwa Komjend Listyo Sigit harus membawa Polri semakin profesional. Lagi-lagi ini adalah normatif, malah sudah cenderung langsung. Padahal bisa sangat terbuka, ada kata jika terpilih, Kapolri Listyo harus membawa Polri lebih profesional. Kata jika terpilih sudah tidak dipakai lagi, kecenderungan aman. Demokrat menyetujui.
PKS yang biasa berseberangan dalam banyak hal dengan pemerintah, kadang sepele sekalipun kini juga biasa saja. Mengatakan, bahwa pola terpilihnya calon Kapolri ini mirip dengan Kapolri lalu Tito. Ada pula yang mengatakan pilihan terbaik dari presiden dari calon yang ada. Susah melihat PKS bermain basa-basi dengan pernyataan-pernyataan ini. Hampir pasti mereka menerima dan melakukan uji dan kepututan secara normatif, bukan hal yang luar biasa.
Amatan  dan pengamat banyak yang menjadikan Kapolri beragama berbeda itu sebagai hal yang baik di mata internasional. Hal yang wajar, karena bukan negara agama, namun bangsa dengan azas Pancasila. Sekian lama dikotomi agama itu menyeruak, dan kini kembali kepada fitrahnya, kembali kepada kodratnya, dan siapapun bisa menjadi apapun.
Menjelang reformasi dan Soeharto menggunakan pendekatan agamis memang menyebabkan pendekatan agamis dan malah cenderung ultrakanan makin menguat. Apalagi dengan reformasi yang seolah tanpa aturan itu. Hal yang  sejatinya wajar politik itu condong ke mana-mana dan kesadaran untuk kembali pada Pancasila itu memang harus diupayakan terus menerus.
Reformasi yang membuka kran kebebasan termasuk juga datangnya cara baru dalam beragama, isu mengenai kekuatan asing untuk menguasai bangsa ini, dan salah satunya adalah pemanfaatan agama. Konsekuensi logis yang memang harus dihadapi.
Plus ada pemimpin yang takut bersikap tegas karena menjaga reputasi. Lha pemimpin maunya semua suka, mana bisa. Utopis menjadi pemimpin yang menyenangkan semua pihak. Salah satu tugas adalah menegakan aturan dan itu akan dengan pasti konsekuensinya tidak disukai pelanggar hukum.
Wajar, ketiga kaum fundamental dan ultrakanan menyeruak ke mana-mana, menyusup ke semua lini dan sendi kehidupan berbangsa. Militer, polisi, birokrat semua sudah terpapar dan cenderung cukup parah.