Beberapa hari lalu, seorang rekan memberitahukan sebuah pemikiran, bagaimana kebebasan di masa depan itu akan makin semu. Berteriak demokrasi namun semua dimata-matai dengan CCTV dan juga dengan suka rela menyetorkan data pribadi kepada banyak pihak. Salah satunya adalah media atau media sosial yang kita ikuti. Semua data, kadang NIK pun kita berikan bukan?
Demokrasinya kog diam, mana ada berani menolak, nyatanya kalau tidak setuju ya sudah aksesnya terputus, selesai. Sederhana, tidak perlu ribet dan ribut. Paling-paling juga demo dan menolak, esok sudah kembali berjalan. Lihat saja mana bisa kita, pengikut bisa mempengaruhi kebijakan pemelik atau minimal admin saja? Ada? Omong kosong. Sederhana saja di K, mana ada kuasa dari pemilik akun atas kebijakan dan perubahan kebijakan kecil sekalipun?
Tadi pagi, becanda dengan Kang Pepih, sesepuh Kompasiana, ketika menyoal Donald Trump ditendang oleh penguasa media sosial. Saya berkomentar bagaimana kalau Kang Pepih juga memblokir Pak Jokowi dan BU Sri Mulyani, ingat konteks becanda tentu saja. Kang Pepih menjawab, presiden dan menkeu diundang dan ditawari Pepnews dan berkenan, mana mungkin tuan rumah akan menendangnya. Beda konteks, tetapi bahwa ada kuasa yang lebih dari pemilik akun yang sama dengan Donald Trump diperlakukan twitter dan FB. Jelas mereka jauh lebih kuasa.
Beberapa kali Mbak Peank yang memiliki nama akun beda-beda dan susah, pokoknya Mbak Peank melakukan protes dengan aneka alasan. Pokoknya dasarnya adalah Kreward itu ada ketidakadilan ketika harus pilihan. Kners contreng biru autopilihan, padahal bisa dicabut. Ia jengkel karena sering tulisannya itu ramai pembaca namun menjadi kering Krewwrd karena tidak pilihan, itu sependek pemehaman saya, kelihatannya tidak keliru.
Pemilik media, atau media sosial kini adalah raja di raja, apalagi jika itu sudah level global seperti WA, FB, Twitter, dan sebagainya. Bagaimana mereka harus memfasilitasi demikian banyak pihak dengan sangat adil. Tentu saja perubahan kebijakan sangat tentatif dan menghadapi respon para penggunanya.
Mereka pemegang kendali tunggal, paling-paling pengguna hanya bisa protes dan kalau tidak setuju ngambeg dan pergi. Sama juga dengan Youtube, ketika monetasi makin menggiurkan, syarat lolos itu juga makin susah. Belum lagi bagaimana pengguna sisi lain, pengiklan atau sponsor misalnya, tentu akan berbeda dengan pembuat konten. Padahal mereka harus adil di dalam menyikapi semua kepentingan.
Maha kuasa ada di tangan pemilik atau manajemen media dan media sosial. Lihat saja sekelas Donald Trump, Presiden aktif Amerika Serikat saja bisa dibekukan akunnya. Ini kan luar biasa. Mana bisa semudah itu dalam dunia nyata, pemerintahan misalnya. Toh mau menendang Trump  untuk mengantinya dengan wapres saja susah. Eh ini para pemilik media sosial dengan enteng thinkkk dan hilanglah si Pemimpin Negara Adidaya itu.
Padahal demokrasi itu perjuangan berabad-abad, akan dengan sangat mudah diserahkan kepada kuasa segelintir orang dengan namanya media dan media sosial. Tanpa bisa protes dan membantah, semua taat. Memang, bahwa aturan mereka dibuat dengan amat teliti dan detail, sebisa mungkin tidak akan merugikan sebagian pihak pengguna yang wajar dan normal.
Apakah ini melanggar HAM dan demokrasi? Ya terserah pengguna. Itu pilihan bebas. Mereka juga tidak akan terbebani jika ada yang berpikir demikian. Tidak akan ada  kesetaraan di dalamnya. Tetap saja ada pemilik dan pengikut. Itu sah dan bahwa UU juga menjamin.
Yang salah adalah, ketika data yang kita milii dijual atau dibagikan dengan seenaknya sendiri tanpa konfirmasi kepada kita. Contoh paling jelas nomer HP sehingga bisa mendapatkan kiriman perpesanan untuk penipuan. Ini soal karakter dan taat azas dari bagian pengelolaan data yang memang lemah. Itu bagian dari  karakter bangsa ini.
Lihat saja bagaimana sekelas FB ketika ada dugaan kebocoran data mereka sangat serius menangani dan dengan sikap penuh tanggung jawab menjamin tidak akan terulang lagi. Lha di sini, beli pulsa nomer bisa diserobot orang, mana ada yang peduli. Apalagi ketika bicara KTP-el dulu. Katanya data kita serahkan pada asing. Lha mereka saja tidak paham dengan apa yang diomongkan, sudah teriak duluan.