Hampir setahun pandemi berlangsung di Indonesia. Grafik makin meningkat. Vaksin siap beredar dengan segala narasi yang mengikuti. Khas negeri ini. Esok kembali pembatasan secara ketat hendak diberlakukan. Hal dan pilihan yang sangat wajar melihat keadaan yang sudah campur aduk. Waktu awal ada petinggi parpol yang mengusulkan lockdown bahkan puterinya pun ikut-ikutan demikian.
Apakah kali ini pilihan lockdown akan lebih tepat? Beberapa hal patut dicermati dan dijadikan bahan  evaluasi, termasuk melihat kepada kondisi lingkungan terdekat. Tidak usah bicara yang memiliki rumah di atas tanah berhektare-hektare, di mana jelas mereka akan memiliki segala sumber daya untuk bisa bertahan bahkan tujuh turunan.
Kondisi kali ini jauh lebih susah, karena titik jenuh orang jauh lebih tinggi. Baru saja dengar dua bahkan tiga pernyataan bahwa  covid hanya rekayasa. Bayangkan korban demikian banyak, masih bicara rekayasa, entah kalau mereka ini yang mengalami, akan seperti apa komentarnya. Mau menjawab susah juga, lha pengalaman, bacaan, pendidikan juga tidak cukup untuk mampu mencerna informasi.
Padahal informasi di media kita sangat bias, antara kepentingan politik dan agama yang seolah-olah itu pasti benar dan corong pendengung sangat masif. Masalah ada pada dua ini, pemain politik dan agama, ingat penggunaan agama yang ujungnya politik. Ketika tahun lalu masih belum percaya, kini pun masih sama dengan narasi yang berbeda. Sok tahu dan merasa baik-baik saja.
Masih berkaitan dengan titik jenuh dan sok tahu di atas. Bagaimana bisa ketika merasa baik-baik saja kemudian dikunci dan karantina sepenuhnya. Lihat saja di luar sana mana ada orang bermasker dan jaga jarak. Minimal di lingkungan saya demikian. Memang  ada hal baru, di mana ketika kenduri tuan rumah dipaksa menyediakan masker, hand sanitizer, dan jaga jarak. Hal yang setahun lalu malah tidak ada.
Upaya yang sudah berlangsung setahun, dan kemudian mengatakan karantina ketat, lockdown, perlu juga dipikirkan soal model hidup bersama kita sebagai bangsa ini, berkumpul dalam acara-acara keluarga besar itu sangat biasa. Memang Lebaran kemarin bisa sepi, tetapi hajatan dan kenduri tetap saja marak. Setahun keadaan sudah berlangsung dan tidak ada yang luar biasa, vaksin sudah tersedia malah kembali ke pilihan lock down jelas makin susah.
Finalsial. Negara jelas sudah habis-habisan. Pengadaan vaksin, insentif dan perawatan korban yang sudah berlangsung setahun. Bantuan ini dan itu yang sudah berlangsung juga hampir setahun. Jika harus dibebani lagi dengan mengunci atau lock down betapa ngerinya dana yang harus disediakan. Ini sih cenderung ngasal dan ngaco.
Apalagi elit yang dulu mengatakan lockdown sudah mewanti-wanti soal hutang. Coba bayangkan beaya vaksin saja sudah diperingatkan, belum lagi kalau membeayai masyarakat secara penuh. Atau beliau lupa mengingatkan pilihan lockdown ya? Sangat mungkin, kan sudah sepuh.
Usai reformasi, seolah negeri ini bebas melebihi mana pun juga. Bebas yang tidak ada adat. Lihat bagaimana media sosial berisi caci maki, perbedaan seolah adalah akhir segalanya, saling hujat hanya karena berbeda pandangan. Model demikian beneran bisa taat aturan dan azas? Ketika hal yang sederhana saja tidak bisa apalagi yang lebih gede seperti mengatasi pandemi.
Sosiologis kita yang masih seperti itu, pun di dunia cenderung tidak ada lagi yang memilih cara itu, WHO pernah mengatakan pula bukan pilihan bijak.Â
Mau apa, apa dasar untuk memilih lock down, kecuali pilihan sia-sia. Malah mundur. Sama sekali tidak ada kemampuan untuk itu, selain terlambat juga tidak ada manfaatnya.