Iriana, Maria, dan Perempuan Hebat
Selamat Hari Ibu bagi Para Ibu di Nusantara
Ketika mau membuat judul ini sudah terpikir akan menjadi  bahan kelompok lain kala awal-awal di Kompasiana. Kini sih mana duli dan sudah habis orang-orang yang biasa ngribeti artikel lain, tanpa ia menulis. Sedikit lebay memang. Tak hendak bermaksud mengecilkan sosok atau membesar-besarkan insan. Namun ada satu kesamaan kekuatan di dalam menghadapi goncangan yang menimpa orang-orang terkasih.
Maria, siapa ibu yang tidak menangis darah menghadapi kematian anaknya dengan amat tragis. Anak tunggalnya yang ia lahirkan dengan segala tekanan baik publik ataupun politis, eh dibunuh dengan siksaan amat keji. Salib itu peristiwa pembunuhan dan hukuman mati yang paling sadis, mengerikan, dan keji. Cambukan dengan duri besi, mahkota kepala dari duri, berjalan memanggul salib dengan tetap disiksa sepanjang jalan.
Ribuan luka dan darah tetap mengucur, Maria tetap mendampingi dengan kesetiaan dan keberadaannya secara fisik dan rohani. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Ini historis, soal pandangan iman dan teologi mungkin akan sangat berbeda, bisa pula bertolak belakang. Mengenai sisi historis toh akan relatif sama. Menghadapi kematian puteranya dengan mata kepala sendiri. Kematian yang luar biasa. Itu ribuan tahun lampau.
Maria mendampingi dengan hati yang pedih tentu saja, namun tidak ada kegentaran dan ketakutan yang membuatnya mengeluh. Ia menyimpan semuanya dalam hati. Diam di dalam pengabdian.
Eh sampai dua ribu tahun lebih masih saja ia dengar soal ucapan kelahiran anaknya saja dipertentangkan. Istimewa di Indonesia. Di Timur Tengah tempat kelahiran anaknya dan pernah menyalibkan dan menolak sang putera saja kini sudah lebih baik. Tidak ada penolakan, malah di sini Nusantara yang ribuan kilo meter jauhnya masih saja ribet dan ribut mengenai itu.
Kini, Iriana, menyaksikan, ibu mertua, suami, dan malah kini anaknya pun dijadikan sasaran tembak, cenderung politis. Mertuanya dituding PKI dan suaminya jangan lagi ditanyakan, cek saja sendiri via media pencarian, ribuan artikel akan dengan cepat menyajikan data itu. Â Tidak perlu berpanjang lebar bukan.
Kini, mulai menyasar pula pada anaknya. Anak, buah kasih, itu jelas lebih memberikan dampak, dari pada jika itu suaminya yang menjadi sasaran. Ada ikatan batin, darah, dan ikatan keturunan. Suami itu bisa menjadi mantan, bekas, atau masa lalu. Berbeda jika itu anak.
Benar, tentu Iriana sudah paham dan katam ketika suaminya menatap jalan politik. Anaknya yang menyusul tentu saja sudah siap, namun apakah sesiap itu di dalam faktanya? Belum tentu. Hanya ia yang paham, karena Ibu Tien Soeharto dan Ibu Ani almarhum tidak pernah merasakan sedasyat apa yang Ibu Iriana rasakan.
Baru saja sang anak menjadi walikota terpilih, belum menjabat, pelantikan saja belum, pemenang pemilihan belum juga sah, eh sudah ikut diterpa tudingan korupsi. Sangat lemah narasi  yang mau menjerat, tetapi toh dengungan itu demikian kuat karena kerja media, politikus, dan kemudian media sosial demikian masif.