Diplomat Jerman, FPI, dan Keuntungan Relasional Berbangsa
Dalam sebuah kesempatan Presiden Jokowi pernah mengatakan, negara dan bangsa-bangsa itu memang bergandengan tangan dalam sebuah pertemuan, tetapi sejatinya adalah pesaing utama juga. Artinya selain adanya kerjasama tentu juga adanya sikap saling mencari keuntungan dan menelisik potensi kelemahan dan juga keunggulan "rival"-nya.
Era sudah modern, penjajahan fisik, militer, dan politik sudah tidak lagi bisa diterima dari berbagai sisi. Toh namanya manusia, ingat negara itu dipimpin manusia. Maunya adalah menang dan orang atau pihak lain kalah, di bawah kendali mereka. Utopis lah mengatakan hubungan saling menguntungkan, tetap saja dagang sapi yang terjadi, saya akan dapat apa dengan relasi itu. Lha pasangan hidup saja kadang jatuh demikian, apalagi ini hubungan diplomatik.
Percaya FPI atau Kedubes?
Kliam FPI lewat Munarman bahwa pihak kedubes menyatakan belasungkawa atas kematian enam laskar FPI. Dukungan dan simpati mereka atas perjuangan laskar dan FPI. Bertukar kontak untuk bisa menjalin komunikasi selanjutnya.
Pihak kedubes jelas mengatakan itu adalah inisiatif pribadi bukan pihak lembaga. Ujung-ujungnya panggil balik si diplomat untuk mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatannya. Hal yang sangat normatif. Toh ada juga ciutan lewat media sosial mengenai HAM yang disinggung. Cukup menarik.
Keduanya sama saja. Cari keuntungan masing-masing. Lihat pembicaraan awal. Jerman ada kepentingan dengan kondisi Indonesia yang lemah atas perilaku FPI dan kawan-kawan. Jika FPI dan kawan-kawan bisa diatasi, keadaan membaik, pemerintah makin solid, luar dan kepentingannya makin susah untuk seperti era-era lalu dalam mendiktekan kepentingan mereka.
Beberapa hal menarik, daripada mengupas mana lebih benar antara Kedubes atau FPI. Sama saja. Mencari aman dan keuntungan sendiri. Hal yang menarik itu adalah sikap FPI yang menerima diplomat Jerman tanpa pakaian Muslim. Bisa dibayangkan jika itu adalah Mega yang ke sana atau Puan, apa yang akan mereka lakukan. Menghina dan mencaci maki. Sepanjang berkali-kali melihat photo itu, jelas pakaian kaos, jeans, dan tanpa penutup kepala, jika benar demikian.
Modelnya ternyata mendua, kalau orang lain tidak sepaham adalah kafir, namun perempuan Jerman diterima sebagai tamu kehormatan sampai membuat konpres. Dukungan, dalam satu frame yang sama, Yusril mengusik itu dengan menolak membantu menjadi pengacara Rizieq dengan pilihan kata kafir juga. Jerman bukan kafir karena sama kepentingan, Yusril yang memilih kubu Jokowi menjadi kafir.
Diplomat Jerman ini pasti memiliki kepentingan yang ingin disampaikan, lepas dari jawaban resmi Kedutaan Besar mereka. Sangat mungkin memilih bukan dengan kendaraan resmi kedutaan jika mereka tidak mau itu terekspose. Mobil murah dan mudah kog, risiko ketahuan sangat besar dipilih, berarti ada unsur kesengajaan.
Tidak ada relasi tulus dalam diplomasi bernegara, Terlalu naif jika demikian. Lha istri saja ngecek i hape suami, membahui bajunya jangan-jangan ada parfum lain kog. Itu relasi cinta, apalagi bernegara, keuntungan masing-masing menjadi prioritas. Lihat saja mana ada negara tidak menyadap negara lain, tanpa mengintai keadaan negara itu secara cermat. Untuk apa atase militer dan pertahanan. Tetap konteks adalah kepentingan sendiri.