Pilkada dan Investasi Politik Mega dan PDI-Perjuangan
Pilkada serentak, telah menyelesaikan babakan pencoblosan. Era modern, dengan cepat  hasil kasar sudah bisa diketahui, hanya tinggal penetapan secara legal saja sebenarnya. Hal yang  cukup menarik ditampilkan PDI-Perjuangan, tentu tidak lepas dari sosok Mega di baliknya. Tentu ini soal amatan serampangan, bukan riset mendalam.
Kemenangan di banyak daerah dengan jumlah partai pendukung hanya minim, Â memilih calon kepala daerah muda, bahkan sangat muda, memberikan kesempatan bukan semata dan harus kader, namun berprestasi. Pilihan yang kadang tidak mudah, maka lahirlah istilah banteng ketaton karena merasa kader namun malah tersingkir oleh pribadi yang lebih menjanjikan.
Sejatinya tidak salah, ketika parpol mengajukan pihak luar yang memang memberikan jaminan sebagai pemimpin yang baik. Ideologi bukan hanya karena kader itu perlu disadari dan dijadikan pemahaman bersama ke dalam. Kecenderungan kader militan dan lama, kadar dalam banyak hal minim. Menggunakan atas nama loyalitas dan militansi, namun kurang berisi.
Beberapa kemarahan ditampakan dengan sangat gamblang oleh beberapa ketua-ketua daerah, atau kader senior yang merasa calonnya atau dirinya malah tidak diperhitungkan.Â
Salah satu yang sangat jelas itu kasus Gibran, di mana ia tidak ikut penjaringan dari cabang, namun diberikan rekomendasi justru dari DPP. Mekanisme ini tentu saja mereka sangat paham, toh masih berani menyatakan ketidaksukaan dengan terbuka.
Fakta yang sama juga terjadi di berbagai daerah. Merasa sudah banyak berjasa pada partai dan menilai diri layak menjadi pejabat yang lebih elit dan prestisius, kemudian rekomendasi ternyata diberikan  pada pihak lain marah, meradang, merasa ketaton.  Barang baru yang sangat menyakitkan memang.
Muda dan kadang sangat hijau. Bagaimana Gibran, Bobby, dan banyak lagi. Investasi yang tidak mudah untuk diambil dan dijalankan. Penolakan dan resistensi karena biasanya berhadapan dengan orang yang sudah lama banget, kolot, dan merasa berjasa. Konflik kepentingan yang bisa menjadi bumerang.
Keberanian yang telah dipilih ini memang sukses dengan relatif baik. Ada nada minir soal anak dan menantu Jokowi. Ini sih tidak akan lama. Toh bukan yang pertama sebenarnya, ada SBY dengan EBY dan AHY. Ada pula keluarga Amien Rais, keluarga Zulkifli Hasan, dan demikian banyak model yang sama. Mengapa khusus Jokowi banyak yang sewot. Sejatinya saya pribadi juga tidak begitu setuju. Tetapi, jangan salah, momentum politik itu penting.
Jokowi atau Mega
Saya melihat ini adalah gawe dan investasi Mega. Jokowi bukan model orang demikian. Jika memang mau mengader Gibran, tentu sejak awal akan dipaksa untuk ikut tahapan dari paling bawah pendaftaran di kantor DPC. Tanpa akan ada friksi.Â