Bangsa Indonesia termasuk yang suka menyampahkan makanan. Sisa makanan paling gede sedunia, memang bukan yang paling banyak, namun relatif besar, termasuk kalangan atas. Fakta lapangan silakan cek atau sambil lalu, ketika lewat atau malah ikut makan di pusat-pusat jajan mau kelas mal atau kaki lima, berapa banyak piring berisi makanan sisa.
Di perjamuan mau pesta apapun, juga coba perhatian, bagaimana orang mengambil banyak-banyak, pun dengan sisanya.  Masih bisa dimengerti kalau perjamuan model  makanan sudah diberikan dalam paketan, tidak bisa memilih, masih bisa diterima nalar kalau sisa.  Selera dan kesukaan orang bisa berlainan.
Paling menjengkelkan, ketika di rumah ada acara arisan, prasmanan namun menyisakan banyak banget. Kan aneh, namanya prasmana, pokwe, jupuk dhewe, alias ambil sendiri, kog masih sisa. Entah apa yang ada dalam benak mereka.
Mengapa tabiat demikian bisa terjadi dan malah seolah menjai gaya hidup,
Pertama, budaya. Beberapa budaya atau adat kebiasaan menilai orang yang menghabiskan makanan, di piringnya bersih itu melambangkan ketamakan atau kerakusan. Rakus yang berkonotasi buruk. Â Sangat wajar, makan, terutama makan besar, di meja makan itu masih ada sesuap atau sesendok nasi, secuil lauk pauk, tentu dirapikan, bukan belepotan. Sedikit pun tetap sisa dan menjadi sampah.
Konteks budaya kuno, ketika keluarga masih memelihara ayam atau hewan peliharaan lain masih "terpakai". Tidak terbuang percuma atau sia-sia. Ketika rumah tangga bebas hewan peliharaan, atau kucing dan anjing makan, makanan khusus, bukan sisa-sisa yang campur aduk? Ke mana? Sampah bukan?
Kedua, tabiat menghargai pihak lain sangat rendah. Dua kemungkinan, menyepelekan atau meremehkan, bisa juga memang sikap itu tidak ada. Hal yang sangat berbeda. Karena sikap  meremehkan lebih rendah lagi, hanya begitu saja, atau sepele mengapa juga, toh semua bisa.  Sikap demikian juga diterapkan pada makanan. Sederhana, bagaimana nasi di piring itu melibatkan begitu panjang rantai produksi. Petani, buruh tani, penggilingan padi, penjual beras, tukang masak, dan disajikan di depan kita. Berapa banyak keringat yang tercurah untuk itu. Hal demikian kemudian dinyatakan, halah hanya segitu?
Sikap yang identik, abai akan ungkapan terima kasih pada pihak lain.Tidak pedulian dan  masa bodoh akan hasil jerih payah orang lain. Lihat pula cara merusak, menghancurkan, dan kebiasaan membuang sampah itu khas abai akan keadaan orang lain. Egoisme yang  dimiliki anak-anak.
Ketiga, merasa membayar, membeli, dan milik sendiri. Makanan memang dibayar, atau kalau pesta toh "sudah" menyumbang atau angpao, sikap jemawa, dan ujungnya lupa jasa dan peran pihak lain. Â Perbedaan pada poin dua dan tiga adalah sikap merendahkan, kalau pembahasan bagian ini meninggikan diri. Dia yang paling.
Keempat, agama dan sisi spritual masih belum aplikatif. Ibadah, ritual, dan hal-hal yang bersikap senada ini masih kenceng. Namun jauh dari dalam tindaknyata. Ungkapan syukur itu bukan semata memenuhi rumah ibadah atau hafal ini dan itu, namun juga menghargai ciptaan dan Pencipta.
Kelima, pendidikan. Materi yang seabrek, hafal ini dan itu, jawara ini dan itu, namun abai untuk mampu berterima kasih dan bersyukur. Terlalu berorientasi pada sisi otak, kognisi, namun jauh dari sisi afeksi dan humanisnya. Pengolahan rasa dan sisi kemanusiaan rendah.