Mangkatnya Imam Bengek Kami
"Inalilahi wainalilahi rojiun....."
Suara lantang dan jelas dari langgar kampung kami, tetapi siapa yang meninggal?
Belum usai satu kali ungkapan duka, suara lebih jauh juga menyuarakan, bertaut-tautan dengan masjid, surau, dan langgar dengan pengeras suara. Nama dan alamat belum ada satupun yang menyebutkan.
Semua akivitas terhenti, kala pengumuman dari banyak tempat seperti ini, berarti orang penting yang berpulang. Jika orang biasa atau kebanyakan, satu pengumuman, atau bahkan tidak ada yang mewartakan itu lumrah. Saling bersautan berarti orang gede.
'Imam Bengek, eh...maaap...maap. Imam Bajuri meninggal," kata Bu Panji sambil mewek.
Panji yang digendongan ikutan menangis meraung-raung  lihat maknya nangis. Tanpa tahu maksudnya tentu saja. Disusul dengan menganak sungai mak-mak pada menangis dan meratab. Bapak-bapak yang lebih rasional menuju rumah Imam Bajuri untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Sebagian menuju ke makam keluarga di mana IB sudah pernah berwasiat, bahwa ia maunya dimakamkan bersama keluarganya. Nenek moyang, bapak-ibu dan kakek-neneknya, ia lajang hingga meninggal.
"Imam Bengekk....." kini si Puji menangisi guru ngajinya.
Anak-anak muridnya memang dipernahke, diajarkan oleh Kyai Bajuri untuk memanggilnya Imam Bengek. Ia menerima kata dan ledekan keji itu dengan hati lapang. Beliau tidak marah anak-anak memanggil demikian. Katanya, itu adalah kata-kata indah dari mulut anak-anak yang tulus dan lugu. Tetapi tahukah siapa penyemat sarkas itu?
Mereka yang tidak suka akan kesederhanaan dan kebersahajaan kyai kampung kharismatis itu. Gaya hidup mewah  yang menggoda banyak pihak, yang terusik kemudian memberikan label Imam Bengek bagi Mbah Bajuri.  Awalnya, kami, para orang tua memarahi anak-anak yang memanggil guru ngaji mereka dengan sangat tidak pantas tersebut.