Antara Menanam dan Menebang Pohon
Di rumah, relatif masih banyak pohon gede dan kayu keras. Tertua dan terbesa pohon kenitu atau sawo hijau. Lima puluh tahun lebih dengan keliling pohon lebih dari 100 cm. Kerimbunannya jangan ditanyakan. Musim rontok atau berbunga, kotorannya luar biasa. Bersaing dengan itu ada kedondong, lebih muda, kisaran 30-an tahun lebih. Besar dan tingginya jauh kurang gede. Dampak dari pohon ini adalah usai buah, berarti musim ulat. Macam-macam lagi jenisnya. Kotoran ulat dan ulat yang jatuh waduuh nggilani.
Tidak terlalu jauh ada pohon matoa, usia 20-an tahun lebih. Sudah menikmati hasilnya dengan cukup puas. Daun rontoknya gede dengan rantingnya pula. Bebungaan dengan  kayu keras cukup banyak, bougenville, asoka, merak, dan banyak lagi. Mereka juga menyumbangkan guguran daun. Jambu batu, rambutan, durian, dan jambu air ada pada sisi lain. Nangka dan  alpokat serta jambu monyet termasuk besar dan rimbun. Belum lagi talok alias kresen.
Kenitu dan kedondong, rontokan daunnya sampai ke atas genteng dan teras. Membersihkan di area itu bisa seminggu hingga dua minggu  sekali, tergantung kerontokan daun. Halaman dan jalan kampung depan rumah sih setiap hari menyapunya. Nah dari sinilah artikel ini bermula.
Menyaksikan  saya menyapu dan membersihkan atap dengan karung daun, komentar paling sering itu, mbok ditebang saja pohonnya. Lha aneh, saya yang menyapu, saya yang susah, napa orang yang sewot. Toh saya juga tidak mengeluhkan banyaknya daun yang jatuh, atau susahnya membersihkan talang. Kog komennya tebang saja.
Pohon, terutama yang besar dan gede memang risiko membuat kotor. Itu ketika sudut pandangnya adalah kotor, dampak jeleknya. Mengapa tidak diubah, oksigennya jauh lebih gede, rumah jadi adem. Rekan-rekan yang masuk rumah pasti mengatakan enak ik, seger, adem, dan buat krasan dan nyaman. Ya iya, wong diperjuangkan nyapu sampai dua kali sehari. Konsekuensi logis atas kesegaran ya berkorban mau susah membersihkan halaman.
Belum lagi ketika rumah tetangga dekat dengan pepohonan, syukur bahwa tanah pekarangan rumah orang tua tidak berdekatan dengan tetangga. Hanya ada pohon pala, jambe, dan mengkudu yang berdekatan dengan tetangga, toh itu relatif jauh juga. Tidak akan jadi protes dan ribet.
Tetapi banyak kisah, cerita, dan keributan karena talang tetangga dapat kiriman daun dari pohon tetangga. Pasti protes soal daunnya, tetapi mana ada ucapan terima kasih atas oksigen yang diperoleh.
Lagi-lagi ini adalah sudut pandang dan cara melihat mana yang bermanfaat atau yang tidak ada gunanya. Berpikirnya daun menyumbat talang, tanpa mau tahu bahwa oksigennya juga tidak ditolak. Oksigen tidak kelihatan, sampah dari daun yang jatuh memang lebih gede.
Efisiensi tidak pada tempatnya. Almarhum bapak berkali ulang mengatakan mau mengganti pagar halaman dengan pilar beton. Ide itu atas gagasan anak menantu dan kakaknya. Lebih rapi dan kelihatan asri, hemat pula. Pagar tetehan  hampir dua bulan sekali harus mengundang tukang memang, tetapi toh pemandangan hijau dan lagi-lagi kesegaran tidak ada dari pilar. Rapi memang tetapi tidak segar.
Memang hemat karena memasang dan membeli barangnya sekali, lha mengecat biar tampak bersih? Pilihan saya disetujui bapak untuk tetap menyatu dengan alam dan tetangga pagar adalah hijauan daun. Semarak di dalam seluruh cakrawala pandang itu untuk memberikan kesempatan mata tidak hanya jenuh dengan layar dan radiasi semata.