Menarik, pagi-pagi ada rekan Kners yang membagikan surat terbuka karyawan Tempo yang di-PHK. Cukup miris dan ikut prihatin untuk keberadaan Tempo dan terutama bagi para karyawan yang menerima konsekuensi tidak enak dalam kondisi di tengah pandemi demikian.
Kondisi yang serba tidak enak tentu saja, baik bagi perusahaan apalagi bagi karyawan. Sama sekali bukan kehendak bebas perusahaan untuk memberhentikan karyawannya. Apalagi sudah bekerja lebih dari 15 tahun, dan kondisi keuangan sedang buruk. Yakinlah tentu sangat berat bagi perusahaan untuk mengeluarkan atau memutus hubungan kerja bertahun-tahun karena kesulitan finansial.
Memang tidak ada keterangan mengapa mereka di-PHK, karena mereka mempertanyakan alasan PHK, memperkirakan ini soal keuangan. Ketika pihak karyawan menyatakan tidak ada kasus berat, tidak pula pernah menerima SP atau teguran. Diperjelas ketika berbicara pesangon, sangat rendah, hanya 1.5 kali gaji. Dugaan kesulitan finansial sangat beralasan.
Menariknya lagi adalah, bagaimana selama ini Tempo menyatakan diri kepada publik, seolah adalah paling ideal, paling benar, dan paling peduli kepada siapa saja, kecuali pada Jokowi dan pemerintah. Tentu masih ingat, bagaimana ugal-ugalannya  Tempo membuat cover bergambar karikatur Jokowi dengan mengambil tokoh kartun Pinokio dengan hidung panjangnya.
Tafsir jelas tunggal, simbol kebohongan, ketika berbohong hidung memanjang. Atas nama menyuarakan pendapat dijamin UU, dan Jokowi juga tidak meributkan itu, melajulah Tempo dengan anarkhisme framing atau narasi di dalam karya mereka.
Jokowi yang dijadikan cover mungkin tidak ambil peduli. Fokus pada kerja, dan hal itu sebagai buah demokrasi. Namun tidak demikian dengan para pendukung dan netizen. Hukuman sosial ekonomi itu tidak bisa dihindari. Rating jeblok, tinggal 1 (satu).
Mungkin sumber dana bukan dari semata-mata rating pada aplikasi, bisa dari mana saja, mereka abai akan hal itu. Pengulangan tema yang sama masih terjadi. Parahnya lagi simbol negara, Burung Garuda dikartunkan sebagai buruk yang tercabik-cabik. Ini sih bukan lagi kritik, namun sudah pada tataran ngaco.
Mendeskreditkan istana dengan istiah buzzerrp, sebuah tudingan yang sangat tendesius dan sudah ada penjelasan yang sangat gamblang, bahwa itu adalah anggaran sosialisasi yang masih dalam taraf wajar. Toh namanya netizen, tetap saja bergulir istilah itu.
Tidak lama, eh malah Tempe menampilkan sebuah tayangan pada media sosial menyuarkan kepentingan sebuah perusahaan ternama. Ini namanya juga buzzer, atau dengan kaca mata positif, influencer. Pokoknya tugasnya memberikan keterangan, menyuarakan kepentingan pihak lain kepad publik.
Terbaru, paling menohok, jelas mengenai UU Cipta Kerja atau UU Omnibus Law, ada ajakan atau anjuran, memang tidak spesifik kepada siapa ditujukan ajakan itu. Miris lho ketika bicara soal pembangkangan sipil. Itu masuk kategori agitasi atau provokasi dan tindakan makar. Konsekuensinya besar dan ngeri.
Tak perlu lama, eh terbuka dengan adanya persoalan PHK dengan pesangon yang sangat jauh dari layak, mau UU lama ataupun UU Cipta Kerja. Mirisnya adalah UU yang menjadi sumber ajakan pembangkangan sipil itu malah membantu keberadaan pengusaha dan investor di dalam memenuhi kewajibannya.
Bayangkan jika menggunakan UU lama, berarti 32 kali gaji, padahal Tempo sanggupnya, hanya 1.5, artinya hanya kisaran 5% saja. Sangat jauh dari apa yang menjadi ketetapan UU. Masih lumayan ketika menggunakan UU Ciptaker.
Kita dapat belajar dari ini semua,
Kadang media, orang, atau lembaga itu keburu nafsu, mengedepankan sisi emosional, ideal, dan lupa ada sisi lain. Lihat Tempo, kini sebagai pengusaha, investor, dan pemilik modal mendapatkan tamparan keras. Apa yang mereka perjuangan kini harus dibuktikan dulu, jangan hanya berteriak menuding pemerintah, lakukan juga kewajiban dengan semestinya.
Obyektif, ideal, dan netral itu memang sangat utopis. Minimal adalah ada upaya untuk mendekat hal-hal demikian itu. Ketika mereka mengupayakan hal itu, pihak lain juga sedang berusaha kog. Nah titik kritis itu jangan sampai malah menjadikan usaha itu tidak realistis dan malah menjadi mimpi karena angin surga.
Memperjuangkan hak buruh lain, dengan dukungan pada penolakan UU Omnibus Law, namun ternyata mereka sendiri masih belepotan untuk menjadi pengayom atas buruh-buruh mereka. Â Pada posisi pelik inilah teruji bagaimana obyektifitas, netralitas, dan sikap kritis mereka.
Miris bukan ketika tudingan kini mengarah kepada mereka, hanya besar mulut tanpa bukti. Tentu kritik kepada pemerintah itu tidak dilarang, bahkan harus, dan itu sah dijamin UUD bahkan. Namun apakah memperlakukan itu dengan obyektif juga? Atau menyeluruh, atau hanya menyasar pihak-pihak tertentu saja?
Tentu bukan hendak menertawakan posisi Tempo yang seperti itu, namun bagaimana belajar bersikap realistis, kritis membangun, bukan hanya asal berbeda jalan dianggap boleh dicaci maki, dihina dina, dan menjadi bahan bullyan dengan tidak berimbang.
Dunia ini tidak ada yang ideal. Semua ada plus minusnya, dan mengurangi sekecil mungkin yang negatif dan memperkembangkan yang positif itu juga salah satu tugas media.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H