Anak STM, Anarko, dan Beban Polisi
Paling tidak, tiga kali ini demonstrasi dengan kerusuhan yang dihiasi dengan penangkapan dan penyebutan keterlibatan anak SMK/STM, anarkho, namun ujungnya juga relatif akan sama. Selesai begitu saja, tanpa ada tindak lanjut lebih jauh. RUU KUHP, RUU KPK, dan kini malah UU Cipta Kerja yang menjadi ajang penolakan dan berbuah rusuh dibeberapa tempat.
Polisi mengatakan dugaan kelompok Anarkho dan siswa sekolah setingkat SMA yang ada di lapangan. Penangkapan pelaku lapangan dan dengan tindak lanjut pada admin media percakapan, seolah itu adalah prestasi. Mungkin demi lanjutan aksi atau pencegahan tindakan susulan masih bisa diterima. Namun apakah itu cukup?
Berulang dan selalu penyebutan organ yang sama, sampai tiga kali paling tidak. Sangat mungkin benar mereka terlibat, namun dengan beberapa hal yang patut untuk dicermati.
Usia rata-rata SMK-SMA, apa iya mampu melakukan koordinasi, manajemen serumit itu dengan berbagai macam trik dan intrik. Perlu digali lebih jauh, bahwa mereka pasti hanya pelaku lapangan, bukan aktor intelektual. Pasti akan terputus komando mereka, demi melindungi yang di atas. Nah, polisi tentu memiliki perangkat yang cukup, dilindungi UU untuk mengulik aktivitas media sosial dan segala sesuatu demi keamanan negara.
Biaya yang tidak sedikit untuk melakukan aksi demonstrasi. Apa iya anak-anak sekolah demikian mampu membeayai, minimal air mineral tentu juga butuh duit. Mereka uang saku saja dari orang tua, apalagi untuk biaya makan, minum, paket data, dan bensin mereka. Nah lagi-lagi polisi perlu menelusuri siapa di balik ini semua. Tidak mungkin  mereka melakukan tanpa adanya dana untuk itu.
Penangkapan admin WAG memang patut mendapatkan apresiasi, mereka yang ditangkap ini memang bisa memadamkan kekacauan lebih lanjut. Namun jelas tidak cukup berhenti pada mereka saja. Ingat ini pengulangan yang kesekian kalinya. Jangan sampai akan terjadi lagi dengan pelaku yang relatif sama.
Mengapa anak sekolah, SMK?
Mereka sangat mudah dibakar hanya dengan kata-kata sepele. Usai mereka ini, semengit, satu diajak dan mau, akan dengan mudah membawa gerbong yang cukup besar. Solidaritas anak muda yang tahu betul oleh pengguna mereka. Sikap kritis mereka masih relatif rendah, mudah terbakar dan disulut, rentan pada pemanfaatan yang tidak semestinya.
Tindak pidana usia muda, ringan pula, biasanya akan dikembalikan kepada orang tua, tidak akan dipidana bui. Hal yang menyenangkan pengguna untuk memanfaatkan mereka. Masih bisa dipakai lagi untuk melakukan aksi di kemudian hari. Lagi-lagi celah yang dimanfaatkan pengguna.
Polisi dengan tegas mengatakan akan memberikan tanda dan SKCK buruk sehingga mereka akan susah bekerja. Sebagai sebuah upaya pencegahan ikut-ikutan ini baik. Meskipun saya tidak setuju, karena usia remaja yang rentan pencarian jati diri, ada yang memanfaatkan pula, sangat tidak adil. Mencegah memang hanya itu, tetapi jangan berhenti di sana.