Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Nalar KPAI dan Langkah PMKRI di Dalam Demonstrasi

16 Oktober 2020   11:06 Diperbarui: 16 Oktober 2020   11:24 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Miris, ketika reaksi yang diberikan itu malah seolah memberikan angin segar pada  "para cukong" demo untuk melibatkan anak-anak, dengan rasionalisasi jenuh. Mengapa malah tidak mengecam anak yang dilibatkan, bukan malah seolah memahami demo demi mengatasi jenuh. Aneh dan lucu sebenarnya.

Berlanjut pada keanehan berikut. Polisi mengancam akan ada catatan dan kemungkinan besar ke depan si anak susah mendapatkan SKCK, sebagai salah satu syarat dalam melamar pekerjaan. Memang satu sisi saya juga tidak setuju, sekali dua kali kenakalan remaja, identik dengan tawuran juga, tentu sangat mengerikan jika hingga masa depan dan hidupnya.

Sangat mungkin ini hanya sebuah peringatan dan gertakan yang perlu diungkapan polisi untuk membuat orang tua jadi perhatian. Anak juga takut, soal aplikasinya toh tidak akan sekejam itu. Lha politikus maling saja bisa mendapatkan SKCK kog, juga bebas pidana dari pengadilan negeri. Gertakan saja.

Masalahnya adalah sikap KPAI, laagi-lagi aneh, bukan mengecam yang melibatkan anak-anak, namun malah mengomentari tindakan dan ancaman polisi. Berlebihan dan malah tidak pada tempatnya. Ini kan reaksi, mengapa menjawab reaksi, bukan masalah aksinya yang dipersoalkan.

Dua kisah dan fakta yang ada, menunjukan bagaimana kita di dalam melihat sesuatu, realiatas, hal yang faktual itu masih cenderung serampangan. Jangan harap mengatakan sampai kepada akar masalah, lha persoalannya saja tidak tahu dan pahami dengan baik dan jernih.

Kecepatan respons kadang menjadi utama, masalah benar salah belakangan. Ini juga menjadi masalah dan persoalan. Ribet dan makin ruwet karena lebih dulu komentar, omong, dan baru berpikir, malah kadang baru mencari-cari referensi dan mau mencri tahu masalahnya.

Kebat klewat ujaran Jawa yang bisa mewakili hal-hal tersebut di atas. Wajar sih negara usai represi menjadi demokrasi. Sayangnya, banyak yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi dan sesaat, dan itu berujung pada sesat.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun