Kompasianer, tentu pernah mengalami, atau mungkin menjadi pelaku atau melakukan hal seperti ini, mengeluh, merasa diri hidupnya pepat, semua serba salah, tidak adil, dan dunia seolah lagi berpaling. Hari-hari ini, nambah lagi yang menjadi alasan untuk mengeluh, sekolah online anak lah, covid yang memporakporandakan bisnis, usaha, atau kerjalah, dan banyak lagi.
Enak kan ketika mengeluh, berkeluh kesah, dan curhat, curcol bersama kawan-kawan, bergosip yang ditanggapi pula dengan nada yang selaras. Klop, dan sampai dua hari dua malam juga tidak kelar, kurang terus malah.
Tapi memperhatikan tidak, ketika usai mengeluh itu bagaimana reaksi tubuh kita? Atau bagi yang mendengarkan keluhan itu? Capek  kan? Sama-sama capek, yang curcol kadang sih menjadi ringan, ya iya karena membagikan "sampahnya". Berbeda dengan yang menampung sampah  itu.
Vampire dalam konteks ini tentu bukan arti sesungguhnya, namun ada  pihak atau orang yang kerjaan, hobi, tabiat, atau kesukaannya itu mengeluhkan apapun. Baik mengeluh, buruk apalagi. Nah pribadi model demikian ini yang menguras energi, kekuatan, dan kebahagiaan kita.
Hal yang lumprah, namanya juga energi negatif, kalau tidak menular, sangat mungkin itu menguras energi yang kita miliki. Makanya itu dinamai vampire energi. Menguras dan menghabiskan apa yang kita punyai.
Ciri-ciri pribadi yang cenderung menjadi vampire itu,
Ketika datang, berjumpa, dan berkomunikasi hal-hal negatif saja yang menjadi inti pembicaraan. Konsentrasi pada hal yang jelek, jahat, dan buruk. Kalau orang politik ya akan membicarakan keburukan dari apa yang tidak disukai dari pemerintah, atau sebaliknya. Hal yang mengasyikan, padahal tidak demikian ketika mau merenungkannya lebih dalam lagi.
Fokus pada diri sendiri dan derita. Fokus pembicaraan, bahan komunikasi adalah dirinya sendiri tanpa mau tahu kondisi orang lain. Lebih mudahnya orang menyebut pribadi egois. Sangat mungkin, apalagi dengan kondisi mengeluh, toh  pasti maunya didengar.
Maunya didengar, bukan mendengar, konsentrasi itu diri dan kondisinya, mana mau mendengarkan karena maunya adalah didengarkan. Membuang sampah bukan? Yang menerima sampah itu yang berat.
Nah, kondisi sebaliknya, bagi kita yang harus menanggung atau menerima konsekuensi atas sampah yang dilemparkan, bagaimana seharusnya;
Mendengarkan, tanpa memberikan porsi baik hati atau pikiran untuk  itu. Jadi bukan membiarkan atau cuek saja atas keadaan itu. Kasihan  jika dibiarkan saja. Namanya juga perlu perhatian. Tanpa memberikan hati dan pikiran membuat kita lepas bebas. Mendengarkan, tanpa memasukan dalam hati dan pikiran kita.