Mengapa Prabowo
Prabowo kembali menjadi ketua umum Partai Gerindra. Sangat normal di alam demokrasi ala Indonesia. Tentu tidak ingin seperti Hanura yang langsung terjun bebas dengan keberanian Wiranto melepaskannya. Tentu tidak ingin hal itu terjadi.
Faksi di Gerindra cukup tajam dan kuat. Beberapa indikasi bisa dilihat, bagaimana Puyuono bisa seenaknya menertawakan pihak lain, dan pada posisi itu Habiburohman marah dan mengatakan menegur keras. Toh tidak ada apa-apa dari sana.
Atau bagaimana perilaku Fadli Zon yang ugal-ugalan dalam banyak hal. Mengaku kritikan namun cenderung waton sulaya, tanpa bukti valid, apalagi bicara solusi. Prabowo saja pernah di depan publik mengatakan, tidak bisa mengendalikan Fadli. Artinya jelas. Kuat dan memiliki jaringan yang cukup liat.
Begitu mengadakan KLB, spekulasi yang ada adalah 2024, bukan siapa ketum partai. Siapa yang bisa melawan keberadaan Prabowo karena memang partai ini lahir untuk dan demi Prabowo dalam pilpres. Â Bermunculanlah spekulasi akan bersama siapa dan partai apa.
Megawati yang datang dikatakan sebagai sebuah kemungkinan kembalinya kolaborasi PDI-P dan Gerindra seperti pada masa lalu. Hal yang normal, di mana permainan politik bangsa ini ya memang seperti itu.
Ada pula aksi Demokrat, ketika AHY memajang photo bersama Prabowo, langsung ramai-ramai mengatakan kalau pasangan ideal. Memang ideal? Sangat tidak. Mengapa?
Keduanya militer. Mantan militer, kolaborasi politik yang buruk. Tidak soal antimiliter atau apa, namun keduanya dengan latar belakang militer sangat tidak pas. Belum lagi kapasitas AHY yang sangat jauh terlalu hijau untuk level RI-2. Termasuk untuk lima tahun ke depan. Terlalu kecil melihat kemampuan memahami keadaan, mengelola keadaan baik politik, private, dan juga sosial.
Pembuktian kapasitasnya sebagai seorang pemimpin level nasional, stagnan, keberanian melangkah dengan gagah dalam jalur sendiri juga nihil. Susah melihat Demokrat bisa berjaya sebagaimana era 2004-2009, jauh dari itu semua. Pilkada juga tidak menunjukkan secara nyata bagaimana gambaran suara mereka.
Ketokohan SBY era itu, berbeda dengan yang sekarang. Apalagi duet AHY-EBY juga hanya begitu-begitu saja, tidak ada yang baru, orisinil, dan solutif. Khas oposan yang waton sulaya bukan oposisi berkelas. Pilihan yang tidak disadari tampaknya, itu sia-sia dan cara kuno. Muda, demokrat pula, tapi kog masih berperilaku seperti era 50-an, bahkan 40-an.
PA 212 malah menolak mentah-mentah Prabowo. Mereka mulai melirik Anies, Sandi, dan Rizieq. Menarik ini, kira-kira, mereka ini paham politik, atau hanya asal  ribut dan demi dapat "orderan"?