Kata Eyang Pram Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Apa yang akhirnya terbukti bagi dirinya. Lihat, kini, anak-anak muda, mengutip kalimat itu atau kalimat-kalimat inspiratif dari karya-karyanya.
Hal yang sangat tidak mungkin terjadi pada era 80-90-an, di mana buah pikir dan tulisan Eyang Pram dibungkam, dibakar, dan tidak dianggap sebagai karya. Teror dan narasi ketakutan diciptakan untuk orang enggan membaca, melihat pun sudah ngeri. Â Akibat yang tidak terpikirkan bisa terjadi.
Keabadian dalam tulisan itu nyata dan benar adanya. Pembuktian dikatakan oleh si penutur dan pemilih slogan itu. Sangat nyata dan faktual. Konteks  berbeda, kapasitas juga lain, masing-masing orang tentu menulis dengan tujuan, dasar, dan daya pikir seturut diri pribadi.
Motivasi ala Eyang Pram sangat mungkin menjadi kekuatan, namun tentu tidak sekeren, sedalam, dan seluas itu juga. Kemarin, ada teman yang cukup lama tidak ketemu. Ada yang mencari dan ketemu di rumah. Mereka sudah 20 tahun lebih gak ketemu. Ternyata membicara soal aktivitas saya menulis via japrian.
Tiba-tiba ada nama rekan ini menambahkan teman di Kompasiana. Ternyata dia langsung membuat akun. Saya japri dan katakan ayo nulis bukan semata memiliki akun. Jawaban klise, lha mau nulis apa ya?
Aneh dan lucu sebenarnya, kan sejak SD atau TK sudah diajar menulis. Pendidikan paling awal  itu menulis, mengapa bingung ketika harus menuangkan gagasan dalam tulisan. Ada beberapa hal layak dilihat,
Sudah memiliki pemikiran, pandangan, dan pola, kalau menulis itu harus seperti itu, penggila Samuel Mulya akan dan berorientasi menulis keras, lugas, namun dengan cara yang amat halus di dalam menyusun satire. Pelahap Gunawan Muhammad maunya menulis seperti itu. atau kalau dunia medsos ada Deny Siregar, Eko Kuntadi, para artis-artis itu sejatinya adalah menjadi pemicu bukan malah teror yang membuat takut.
Atau Mira W, Marga T, atau Dan Brown kalau fiksi. Penyuka puisi pengin seperti Joko Pinurbo atau Taufik Ismail. Itu bagus, sepanjang bukan malah ketakutan dan terteror oleh tulisan-tulisan keren itu. Â Jika demikian kapan menulisnya?
Keliru dalam memahami bacaan jika demikian. Bacaan itu sumber pengayaan diri agar mampu menuangkan ide, gagasan, dan topik tulisan sehingga juga penuh warna. Bacaan yang membantu bukan malah menakut-nakuti.
Kecenderungan menilai diri kecil dan menilai pihak lain gede. Hal yang lumrah dan jamak terjadi karena didikan untuk tidak boleh menonjolkan diri dengan salah penekanan. Kesombongan tidak baik, namun minder juga sama buruknya. Â Sama-sama buruk dampak dan akibatnya bagi perkembangan kepribadian.