Soal Jaksa, Novel Molitik?
Tuntutan jaksa pada terdakwa penyiram air keras pada penyidik KPK memang aneh. Seaneh juga tiba-tiba tertangkap dengan sepele, pengakuan juga sesederhana dan seaneh itu. Ulasan kali ini bukan hendak membahas persoalan keanehan ini dan itu, atau dugaan atau konspirasi apalah-apalah. Hanya mau melihat reaksi Novel Baswedan atas tuntutan pada terdakwa.
Ada beberapa hal yang layak untuk bahan amatan lebih dalam dengan peristiwa itu,
Pertama, bagaimana sekarang orang riuh rendah soal tuntutan itu. Iya, sepakat terlalu rendah jika berkaitan dengan derita korban. Entah apakah sudah sesuai dengan norma hukum yang ada soal penganiayaan, toh tidak itu yang mau lihat dalam artikel ini.
Kedua, pernyataan Jokowi sebagai ujung atas tuntutan ini, serasa berlebihan. Mengapa? Ini berkaitan pada point berikutnya.
Ketiga, posisi Jokowi sebagai eksekutif, berbeda kamar dengan peran yudikatif. Malah bisa berabeh jika menanggapi hal ini. Toh berbeda ketika Jokowi langsung mengirim korban ke Singapura. Jelas tidak ada salah kamar atau intervensi apapun dengan itu.
Keempat, benar bahwa presiden adalah panglima perbaikan seluruh komponen bangsa yang perlu dibenahi. Nah tentu Novel Baswedan juga tahu, bagaimana susahnya perbaikan di mana-mana. Lumayan kejaksaan sudah membenahi diri dari pada kehakiman.
Mosok penyidik KPK lupa bagaimana mereka mendapatkan pertentangan dari kepolisian hingga ada cicak dan buaya. Sama saja jika presiden akan membenahi lembaga atau organisasi juga akan mendapatkan penolakan. Sangat wajar orang akan menilai apa yang ada itu baik-baik saja. Janganlah naif melihat persoalan. Seolah hitam putih saja.
Kelima, lucu atau maaf naif, apakah Novel Baswedan juga berekasi seperti ini, ketika kejaksaan atau jaksa menuntut tidak sesuai ekspektasi, soal korupsi misalnya? Kog sepertinya tidak pernah. Jika sebagai penyidik tidak patut, toh sebagai pribadi bisa. Ini nyatanya ketika untuk dirinya bisa juga.
Keenam, cenderung politis, bukan penegakan hukum. Ia berkali-kali mengatakan banyak hal, toh tidak ia buktikan di peradilan. Hanya di depan media. Ada apa?
Ketujuh, apa yang terjadi justru cenderung memperlihatkan perilaku kelompok yang merasa selalu benar, diperlakukan tidak adil, dan merasa pihak lain pasti salah namun tidak juga memberikan bukti kesalahannya.