Beberapa waktu ini, terutama pandemi menggeliat, ada dua kali pernyataan Siti Fadilah, kalau tidak salah pertama surat yang ia tulis. Bagaimana seharusnya yang perlu dilakukan. Kedua dengan seolah mau menegaskan kembali pernyataannya yang dulu dengan melakukan wawancara dengan Deddy Corbuzier ketika periksa kesehatan.
Dua pernyataan itu membawa pada agenda cenderung politis dengan dasar argumen beberapa hal sebagai berikut;
Satu, di tengah maraknya persoalan pandemi, benar Siti Fadilah adalah prefesional, keilmuannya tidak menyimpang, dan memiliki lebih dari sekadar cukup berbicara mengenai virus, permainan dan hegemoni Amerika Serikat dan WHO tentunya. Pengalaman masa lalu yang benar dan fakta itu terjadi. Tidak banyak cukup  masalah dalam taraf ini.
Pergulatan yang ia nyatakan melawan WHO itu memang demikian adanya, tidak bisa disangkal atau diragukan itu memang fakta. Nah menjadi masalah, lebih rumit dan runyam, ketika itu digunakan untuk "menekan" pemerintah untuk membebaskannya. Seolah "jasa" yang besar perlu diingat.
Dua, berkaitan dengan artikel atau point  satu, miris jika paradigma yang demikian kemudian dikapitalisasi dan dijadikan dengungan yang mahahebat oleh oposan yang lagi-lagi semata mau merusak reputasi pemerintahan semata.  Soal jasa dan pidana tidak bisa kemudian menjadi bahan untuk "menuntut" balas.
Biasanya "jasa" itu sudah diperhitungkan oleh hakim ketika menjatuhkan vonis. Apa-apa yang meringankan dan itu sudah terjadi pada akhir persidangan. Ketika  menjalani pidana itu urusan pada Kemenhum dan HAM ketika memberikan remisi. Ada jalur yang mau ditabrak, yang seolah benar, namun bisa menjadi bencana bagi pemeritah.
Apalagi, suka atau tidak, kasus Siti Fadilah adalah korupsi. Tidak ada terpidana korupsi yang ikut mendapatkan asimilasi karena pandemi ini.  Nah, kalau ia dibebaskan dengan dasar pandemi, bagaimana terpidana lainnya. bisa berabe dan repot negara menyikapi hal ini. Lha  tanpa membebaskan napi korupsi saja sudah dihantam sana sini.
Pertimbangan yang ia sampaikan toh hanya tinggal beberapa bulan. Lagi-lagi jika demikian, banyak juga dengan dalih begitu. Repot negara jika alasan seperti itu diajukan. Bisa juga dong pemerintah menjawab, karena hanya tinggal beberapa bulan, yang sabar dulu.
Tiga, menolak menerima diri sebagai pelaku korupsi. Boleh dan sah saja demikian. Tetapi faktanya vonis dari hakim adalah karena tindak pidana korupsi. Tidak bisa disangkal, benar dan bisa saja jika menglaim diri sebagai rekayasa.
Jika merasa itu adalah rekayasa, mengapa pernah mengembalikan uang yang bisa diartikan berkaitan dengan tindak korupsi dong? Atau mau menjelaskan lagi dengan sesi tiga mungkin. Layak ditunggu. Berkiatan dengan "rekayasa" atau pesanan, point berikut lebih lanjut mengupas.
Empat, konon WHO dan Amerika yang memesan untuk menjebloskan dalam penjara. Ada beberapa hal yang patut dicermati.